Selama ini, berkembang paradigma di kalangan kaum hawa terutama di pedesaan, bahwa perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat hanya mempunyai peran trifungsi: kasur, sumur dan dapur. Paradigma ini berakibat pada memudarnya ghirah kaum hawa dalam menuntut ilmu, karena sudah menganggap pendidikan tidak lagi menjadi penentu masa depan.
Hal ini diperparah de-ngan persepsi yang keliru bahwa peran domestik dinilai tidak memerlukan pendidikan tinggi. Padahal, peran domestik tersebut bukan hanya menyangkut masalah dapur, kasur dan sumur akan tetapi lebih dari itu, yaitu mengatur dan memanage segala urusan rumah tangga termasuk mengurus dan mendidik anak. Peran-peran semacam ini tidak bisa dilalui begitu saja akan tetapi butuh keterampilan, pengetahuan dan pendidikan.
Secara kodrati, perempuan memang mempunyai tugas yang bersifat kemitraan dengan suaminya dalam menyelesaikan agenda-agenda rumah tangga, seperti menyiapkan makanan, mengurus anak dan lain sebagainya. Akan tetapi bukan berarti hanya itu tanggung jawab seorang perempuan, bahkan wilayah tanggung jawab perempuan itu lebih luas daripada laki-laki. Di samping mempunyai tanggung jawab domestik (keluarga) perempuan juga mempunyai tanggung jawab sosial, dan mempunyai kewajiban ikut andil dalam pembangunan bangsa. Hal ini sudah pernah dilakukan oleh tokoh perempuan panutan kita yakni RA. Kartini. Walaupun seorang perempuan, ia mampu menjadi ikon gerakan perempuan terutama di bidang pendidikan dan perdaban terutama kalangan kaum hawa. Bahkan ikut andil dalam mengantarkan kemerdekaan Indonesia.
Dalam konteks saat ini, bukan zamannya lagi perempuan selalu berada dibawah subordinasi dan dikomando laki-laki dalam hal urusan publik. Selama tidak melanggar norma sosial dan norma agama, perempuan harus mampu berdikari dalam peningkatan kompetensi SDM serta kompetisi yang sehat bersama laki-laki sebagai wujud dari kontribusinya di ranah publik. Ikut berpartisipasinya perempuan untuk berperan di kalangan publik harus dihargai, karena mereka juga memiliki hak yang sama untuk mempe-roleh kedudukan akses dan peme-rataan yang sama dimata publik, yang masih perlu dipikirkan ialah kapabilitas dan kemam-puan yang mereka miliki.
Semua perempuan bisa berpartisipasi di ranah publik, dalam kacamata sosial tidak ada pembatasan yang membe-lenggu, era modern sekarang ini harus dijadikan lahan pembebasan sepenuhnya atau menjadi lahan yang sebebas-bebasnya bagi pergerakan perempuan tetapi jangan lupa adanya keterikatan aturan serta norma sosial serta hak dan kewajibannya sebagai seorang perempuan. Kebebasan yang diharapkan dari adanya perjuangan perempuan era sekarang ini adalah pengakuan yang sama dimata laki-laki bahwa mereka mampu, mereka bisa dan mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.
Namun, tidak sedikit orang berpikir bahwa pendidikan “tidak terlalu penting” bagi wanita, karena bila pada saatnya nanti seorang wanita menikah dan menjadi seorang istri, maka wanitalah yang diberi nafkah oleh suami, bukan malah wanita yang memberi nafkah kepada suami seperti kebanyakan orang sekarang ini. Padahal, dalam hal apapun pendidikan begitu pen-ting untuk menunjang banyak hal, salah satunya adalah untuk menunjang karir khususnya bagi seorang laki-laki. Memiliki karier yang mantap artinya memiki keuangan yang mantap pula, entah itu bersumber dari berbisnis maupun bekerja. Selain untuk menunjang karir, pendidikan juga berfungsi untuk memperbaiki pola pikir, memperbanyak relasi, dan menambah wawasan yang mungkin akan berguna bagi diri sendiri, keluraga, sahabat, orang lain, dan khusus-nya bagi suami apabila suatu saat nanti wanita menjadi seorang istri.
Orientasi pendidikan kita selama ini lebih menitikberatkan dalam mempersiapkan sumber daya manusia menghadapi dunia kerja. Tidak heran bila ada persepsi sebagian masyarakat yang menganggap pedidikan bagi perempuan tidak begitu penting. Mereka berpikir bahwa nantinya setelah menikah seorang perempuan akan menjadi tanggung jawab suami. Imbasnya kaum perempuan kurang mendapat dukungan dalam memperoleh pendidikan. Bahkan mereka cenderung se-ring dikorbankan dan dibatasi. Padahal, dalam realitasnya pe-rempuan harus memikul peran ganda. Yakni, peran domestik dalam mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Serta pe-ran publik ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam menjalankan kedua peran itu, perempuan butuh modal pendidikan yang memadai.
Peran domestik perempu-an tidak kalah penting dengan peran publik. Selama ini terkesan pendidikan hanya dibutuhkan dalam menjalankan peran publik saja. Padahal perempuan merupakan guru, pengasuh serta pembimbing pertama bagi generasi penerus bangsa. Sehingga kualitas bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan kaum perempuan. Kecerdasan intelektual yang mereka miliki sangat diperlukan dalam mendidik putra-putrinya. Pe-nyadaran akan hal ini sangat penting karena setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Adanya stereotipe yang menempatkan perempuan dalam status sosial yang lemah menyebabkan mereka mendapat kendala dalam mengakses pendidikan.
Dengan demikian, peringatan hari RA. Kartini pada 21 April haruslah menjadi bahan refleksi bagi kaum hawa. Bahwa tugas perempuan sejatinya tidaklah mudah tapi butuh pengetahuan dan pendidikan yang cukup. Karena dalam keluarga kaum hawa (ibu) menjadi penentu utama karakter seorang anak. Karenanya, perempuan masa kini tidak harus menjadi RA. Kartini di masa lalu, tapi keteladan dan semangatnya yang perlu kita transformasikan dengan cara menjadi sosok perempuan yang bisa memberikan inspirasi bagi lingkungan sekitarnya, bertanggung jawab, berdikari tinggi untuk selalu berusaha mewujudkan persamaan hak perempuan. Wallahu A’lam. [*]
Oleh: Siti Anisah
Mahasiswa Semester Akhir Fakultas Tarbiyah IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo