
SUMENEP- Tentu masih sangat segar dalam benak kita tentang ide revolusi mentalnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dua sosok pemimpin Indonesia itu punya konsep jitu dalam membawa negeri ini menjadi beradab. Bangsa ini pun menyepakati akan sebuah ide itu untuk mengubah cara pandang dan sikap hidup manusia Indonesia dalam menghadapi arus tantangan zaman yang deras mengalir.
Banyak orang menilai, bangsa ini telah keropos, bahkan hampir tak berdaya menghadapi berbagai masalah. Sehingga perlu asupan gizi untuk membuatnya kembali berenergi; berdaulat dan berdikari.
“Momentum Hardiknas bukan sekadar refleksi, tetapi waktu yang tepat untuk mereformasi pendidikan. Revolusi mental saatnya diterapkan, biar tidak jadi teori saja atau selesai dikonsep. Jadikan revolusi mental sebagai agenda pendidikan ke depan,” ucap Achmad Fauzi saat berdiskusi santai dengan Koran Madura usai menyambung rasa dengan masyarakat Pulau Gili Raja, Sabtu (2/5) kemarin.
Ia mengaku rindu sosok Ki Hajar Dewantara, sosok yang mengajarkan kita tentang arti pendidikan yang seutuhnya. Kata Cawabup dari PDIP itu, seharusnya sosok Ki Hajar menjadi cerminan. “Lembaga pendidikan harus mampu mendidik siswa-siswinya dengan mental yang bagus. Sebab lahirnya anak didik berkarater tidak bisa mengandalkan agenda kelembagaan semata. Tetapi harus mampu menyentuh paradigma, mindset, dan mental mereka. Sehingga pendidikan kita benar-benar jadi tolok ukur kemajuan,” paparnya.
Selain itu, budaya politik juga sangat berperan penting dalam hal ini. Sehingga dalam rangka pembangunan bangsa, kita tidak hanya mampu mereformasi aspek-aspek kelembagaan dan sistem bernegara, tetapi juga harus bisa merombak mentalitas para penyelenggara sistem ini.
“Saya masih sangat ingat apa kata pak Jokowi dulu bahwa sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah, tentu tidak akan membawa kesejahteraan. Oleh karena itu, saya berharap, Presiden kita tidak lupa akan hal itu, agar setiap zaman akan lahir generasi yang cerdas dan berkarakter,” jelasnya.
Ia mengajak kita semua untuk meresapi beberapa mentalitas budaya yang sulit hilang di negeri kita, yaitu korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, saling hantam cari kuasa, sifat rakus, ingin kaya secara instan, ingin menang sendiri, radikalisme agama, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis.
“Maka hanya dengan revolusi mental dan moral masalah di atas bisa kita atas. Sekali momentum Hardiknas tidak hanya jadi refleksi, tetapi aksi. Sebab selama ini, saat Hardiknas diperingati selalu saja selesai di refleksi. Oleh karena itu, sudah waktunya revolusi mental itu segera dilakukan, agar tak ada lagi guru yang suka memukul, siswa yang suka tawuran, hingga kriminalisasi seksual marak di sekolah,” lanjutnya.
Kata Ketua Laskar Muda tersebut, pendidikan lewat sekolah merupakan salah satu lokus untuk memulai revolusi mental. Karena itu, maka diperlukan adanya penataaan ulang sistem pendidikan Indonesia. Sejak dini, anak-anak sekolah harus mengalami proses pedagogis yang sempurna.
Dalam kaitan peringatan hari pendidikan nasional tahun 2015 ini, patut kiranya pemerintah mempertimbangkan untuk mengembalikan dan menerapkan sistem pendidikan yang lebih mapan. Tanpa itu, sulit kiranya mewujudkan revolusi mental di negeri ini.
(SYAMSUNI)