Pilkada akan dihelat secara serentak akhir tahun 2015 ini di 204 provinsi, kabupaten, dan kota. Namun, gaungnya sudah sangat terasa saat ini. Terbukti baliho-baliho para politisi mulai menghiasi jalan-jalan di perkotaan. Di tengah metode komunikasi politik konvensional tersebut, banyak pula politisi yang mulai melirik media sosial. Hal ini dinilai lebih menjanjikan.
Menggalang Dukungan
Pada masa mendatang, komunikasi politik di Indonesia diprediksi semakin menarik. Media massa –khususnya televisi, surat kabar, dan internet– masih menjadi media utama dalam meningkatkan citra politisi, khususnya melalui kampanye politik menjelang pilpres, pileg, hingga pilkada yang bakal digeber akhir tahun ini.
Dalam tiap pemilu, tak bisa dimungkiri bahwa anggaran pa-ling besar salah satunya ialah belanja iklan. Jika biaya iklan Pemilu 2004 mencapai sekitar Rp 400 miliar dan biaya iklan Pemilu 2009 bernilai Rp 2,154 triliun (Susanto, 2011), bisa dibayakan bahwa biaya iklan pada pemilu-pemilu mendatang bakal besar lagi.
Akan tetapi, dengan pemanfaatan produk teknologi informasi seperti blog dan media sosial, bakal kian banyak politisi yang akan memanfaatkannya sebagai media komunikasi politik. Hal ini dianggap lebih menguntungkan karena mampu menekan biaya iklan lain seperti pencitraan lewat baliho atau poster serta memasang iklan di media cetak atau televisi yang bisa menelan biaya sangat besar.
Saat ini saja sudah terlihat banyaknya politisi yang menjadi anggota jejaring sosial terkemuka seperti Facebook, Twitter, dan Instagram serta menarik pengikut sebanyak-banyaknya. Tujuannya, meraih dukungan khalayak, terlepas dari apakah pengelolanya adalah mereka sendiri atau ”penjaga gawang” (gate keeper) yang khusus ditugaskan untuk itu.
Diketahui banyak pejabat, politisi, atau tokoh nasional yang aktif menggunakan media sosial, misalnya Twitter. Sesuai data per April 2013, Jokowi tercatat mempunyai 482.288 pengikut, Dahlan Iskan 348.140, Prabowo Subianto 150.124, Hatta Rajasa 139.807, Yusril Ihza Mahendra 136.986, Mahfud MD 122.188, Aburizal Bakrie 99.070, dan Jusuf Kalla 72.795 (Rakyat Merdeka, 19/4/2013). Namun, akun sebagian pengikut dari beberapa tokoh tersebut diduga palsu dan sebagian akun lagi tidak aktif (Pikiran Rakyat, 8/7/2013).
Persoalannya, walau mereka dapat menggalang dukungan dari khalayak lewat media sosial, mereka sekaligus juga mendapatkan serangan dari khalayak lain yang tidak menyukai mereka. Masih menjadi tanda tanya apakah politisi kita akan memperoleh keuntungan jika mereka pengguna media sosial yang aktif.
Di Indonesia sendiri, belum banyak penelitian komunikasi politik yang melibatkan penggunaan media sosial. Diperkirakan jejaring sosial ini berpengaruh cukup besar terutama jika para kandidat politik ingin mendapatkan dukungan dari para pemilih muda dan pemilih pemula, terutama yang tinggal di perkotaan.
Khalayak muda ini lazimnya memang berpendidikan dan melek internet. Setidaknya salah satu faktor yang membuat Joko Widodo (Jokowi)–Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menang dalam Pilgub DKI Jakarta 2012 ialah dukungan dari para pengguna media sosial, terutama Twitter dan Facebook.
Penggunaan jejaring sosial di internet tentu saja bukan jaminan bahwa kandidat politik akan sukses. Sebagai gambaran, Bob Dole adalah calon presiden pertama di dunia yang memanfaatkan sebuah situs internet dalam kampanye politik. Ia ingin memperoleh dukungan dari para pemilih muda lewat imbauannya. ”Saya meminta dukungan kalian. Saya meminta bantuan kalian. Dan jika kalian ingin terlibat, buka saja laman saya di www.dolekemp96org.” (Dole keliru meletakkan titik setelah org, alih-alih di antara 96 dan org).
Kendatipun Bob Dole merupakan kandidat presiden pertama di Amerika yang membuka website kepada khalayak dalam kampanye politik dan pemilu Amerika tahun 1996 dan situs-nya dikunjungi lebih dari dua juta orang, Dole kalah melawan Bill Clinton dalam pemilu itu. Sebaliknya, sebagaimana dikemukakan Castells (2009: 365–366), salah satu jawaban mengapa Barack Obama yang seorang politisi junior keturunan Afrika-Amerika (Kenya) unggul atas politisi senior sekaliber Hillary Clinton dan bisa terpilih sebagai presiden AS –padahal awalnya tanpa dukungan banyak orang dari Partai Demokrat– ialah ia mampu menggunakan strategi kampanye inovatif yang melibatkan internet (media sosial) saat ia memasuki jantung politik AS dengan membawa sejumlah besar warga negara yang terpinggirkan oleh politik AS. Ia melakukan hal itu dengan ditopang oleh kepribadian yang karismatik dan wacana politik yang baru.
Berintegritas
Media kontemporer seperti internet –khususnya media sosial– akan semakin penting dalam komunikasi politik, mulai dari tingkat lokal hingga global. Sejalan dengan itu, konsep-konsep baru seperti e-democracy dan e-government di Indonesia akan terus berkembang meskipun kita kekurangan sumber daya manusia (SDM) dan belum lengkapnya fasilitas. Ketidaksiapan SDM dalam e-government ini sudah terbukti di lima kabupaten dan kota di Jawa Barat (Budhirianto, 2012).
Lebih dari satu dekade lalu, Blumler dan Kavanagh (1999) mendiagnosis suatu ”era ketiga komunikasi politik” yang ditandai dengan melimpahnya media, bertambahnya tekanan terhadap elite politik untuk menerima aturan main media, serta kian kritisnya warga negara yang menantang otoritas politik dan kepemimpinan media. Munculnya Web 2.0 dengan sifat interaktif dan media sosial telah membawa peluang baru dan tantangan baru bagi komunikasi politik, yang secara mendasar mengubah hubungan antara penguasa dan warga negara dalam demokrasi modern yang melampaui era ketiga yang diuraikan Blumler dan Kavanagh (icahdq.org).
Namun, kendati media sosial memiliki peran besar dalam pembentukan pencitraan seseorang dalam kancah politik, kita semua harus belajar dari sejarah perjalanan politik di negeri ini. Yang paling dibutuhkan oleh rakyat bukan hanya pemimpin yang populer dan memiliki manajerial bagus, tapi lebih dari itu ia harus mempunyai integritas dan bermoral tinggi. [*]
Oleh: Eko Prasetyo
Peneliti Komunikasi Politik pada Bina Qolam Indonesia