
Ternyata gambar-gambar mengerikan di bungkus rokok tak membuat perokok merasa ngeri dan menghentikan kebiasaan mereka untuk mengisap tembakau yang nikmatnya konon tak tergantikan oleh makanan terlezat apa pun.
Mereka, kaum perokok yang keras kepala, bahkan punya dalih yang tidak kalah ampuhnya dalam menyikapi ancaman penyakit akibat rokok.
Mati itu urusan yang di atas, begitulah argumen sebagian dari perokok jika dingatkan tentang risiko kematian yang diakibatkan oleh rokok itu.
Dalih ini pun dengan cepat dipakai oleh semua perokok yang tidak mau meninggalkan kenikmatan tembakau.
Kemudian, upaya berikutnya datang dari ormas keagamaan, Muhammadiyah, yang memasukkan tindakan merokok sebagai perbuatan yang haram.
Namun, perokok masih bisa berlindung di bawah visi Nahdlatul Ulama (NU) yang juga merupakan ormas keagamaan, bahkan jumlah anggotanya melebihi yang dimiliki Muhammadiyah.
Kalangan NU memang tidak mungkin mengaharamkan rokok jika dipandang dari sudut realitas sosiologis. Relatif banyak kiai muda maupun sepuh yang suka merokok. Dari sisi landasan teologis pun, NU tak menemukan secara harfiah larangan merokok.
Terlepas dari kontroversi apakah merokok itu haram atau tidak, fakta mutakhir menyebutkan bahwa banyak hal negatif yang ditemukan pada kebiasaan merokok dibanding sisi positifnya.
Rokok dipercaya menjadi pintu masuk bagi kalangan remaja yang tergoda untuk menikmati narkoba. Rokok bisa membuat penikmatnya kecanduan. Namun, sampai saat ini rokok belum dimasukkan sebagai zat adiktif yang pantas dilarang.
Rokok merupakan salah satu pemicu berbagai penyakit kardiovaskular yang berhubungan dengan jantung dan pembuluh darah.
Penyakit yang diakibatkan oleh rokok tentu akan menjadi beban ekonomi keluarga, bahkan negara. Apalagi, saat ini negara juga harus menanggung biaya pengobatan warga negara dari berbagai lapisan masyarakat.
Oleh sebab itu, kini mulai muncul wacana untuk menghambat pertumbuhan jumlah orang merokok lewat berbagai aturan.
Pembatasan iklan rokok lewat lembaga penyiaran pun kini sedang ditempuh oleh para legislator.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran sedang digarap di DPR RI dan salah satu isinya melarang secara total iklan rokok di televisi dan radio.
Pelarangan total ini tentu akan menggembirakan bagi aktivis antirokok. Meskipun saat ini ada pembatasan jam siar iklan rokok dan metode pengiklanannya, industri rokok masih punya banyak kiat untuk membujuk penonton teve mengonsumsi rokok.
Memang di iklan rokok di televisi itu tak memperlihatkan seseorang sedang mengisap rokok seperti beberapa puluh tahun silam. Akan tetapi, para industriawan rokok dapat menyewa kalangan psikolog dan pembuat video klip untuk menayangkan gambar yang memberikan citra maskulin dan anggun pada perokok.
Pembentukan citra perokok yang demikian ini dengan pelahan akan masuk ke dalam psikis remaja dan mereka pun akhirnya termakan oleh iklan demikian.
Kaum legislator dan siapa pun sudah mencium akal-akalan yang halus ini. Itu sebabnya pelarangan iklan rokok secara total di televisi dan radio pantas disambut gembira.
Ketua Komisi I DPR Mahfud Siddik dalam pernyataan persnya mengatakan bahwa penyusunan RUU Penyiaran sedang diselesaikan oleh Komisi I DPR RI. Ditargetkan pada bulan Agustus mendatang, draf RUU tersebut mulai dibahas bersama pemerintah.
Salah satu ide yang berkembang kuat adalah pengaturan untuk melarang penuh iklan rokok di media penyiaran.
Sejak pembahasan RUU Penyiaran periode lalu, banyak masukan dari berbagai lembaga, ormas, dan masyarakat yang meminta agar iklan rokok dilarang secara total. Saat ini UU Penyiaran hanya membatasi waktu dan cara penayangan iklan rokok di televisi dan radio.
“Namun, hal ini tidak mengurangi tingkat konsumsi rokok secara nasional,” katanya.
Pada sisi lain, kata politikus PKS ini, ide tersebut juga menghadapi kendala. Misalnya, belum tegasnya rokok dikategorikan sebagai zat adiktif sehingga negara tidak punya dasar hukum lain untuk melarang perbuatan merokok.
Akan tetapi, jika arus aspirasi masyarakat kuat, kata dia, tidak mustahil ide pelarangan penuh iklan rokok ini bisa dimasukkan ke dalam UU yang baru.
Jika jumlah perokok bisa diminimalisasi sampai titik terendah, apakah dampaknya bagi produsen dan petani temabakau? Pertanyaan ini sering dikemukakan setiap ada upaya pencegahan pertumbuhan orang merokok.
Ternyata, seperti pernah dikemukakan mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Muhamad, biaya yang dikeluarkan untuk penyakit yang disebabkan oleh konsumsi tembakau jauh lebih tinggi daripada penghasilan kaum petani tembakau.
Jika rokok bisa dihapuskan, lahan-lahan pertanian tembakau pun bisa dialihkan untuk penanaman pohon produktif lainnya.
Jadi, memang tidak ada alasan bagi kaum perokok untuk mempertahankan kebiasaan mereka mengonsumsi tembakau dengan kenikmatan yang berisiko terkena kanker paru itu.
Selama ini banyak larangan merokok di tempat-tempat umum maupun di gedung-gedung. Namun, sebagian besar masih dilanggar. Bahkan, perokok akan melakukan kebiasaan mereka secara lebih leluasa ketika mereka sedang kerja lembur pada malam hari.
Di hotel-hotel, upaya larangan merokok juga belum dilakukan secara total. Masih banyak hotel yang menyediakan kamar bagi perokok.
Untuk industri penerbangan, kini larangan total merokok sudah diberlakukan. Cara larangan total di ruangan tertutup adalah yang paling masuk akal. Jika sebagian ruangan disisakan untuk perokok, asap rokok niscaya menyelinap ke wilayah yang dihuni kaum antirokok.
Tampaknya pencegahan pertumbuhan jumlah perokok perlu terus diupakan demi menyongsong generasi yang lebih sehat dan berkualitas serta lingkungan yang bersih, higienis.
(M. SUNYOTO/ANT)