Setiap orang bisa gelisah karena menyaksikan ketimpangan, ketidakadilan dan kelaliman di sekitarnya. Tapi tak setiap orang sanggup bereaksi untuk bertindak setelah merasakan kegelisahan itu.
Dengan demikian kegelisahan yang dapat menggerakkan seseorang untuk bertindak adalah kondisi psikis yang dimiliki oleh mereka yang terpanggil untuk andil dalam perubahan di sekitarnya.
Kegelisahan yang menggerakkan semacam itulah ketika yang dirasakan mahasiswa secara kolektif dalam sejarah aktivisme mahasiswa di mana pun, sejak dulu sampai sekarang. Sejarah mencatat bahwa mahasiswa di Perancis, Jerman, Spanjol turun ke jalan-jalan untuk meprotes penguasa. Mereka menentang kebijakan pemerintah yang berencana menaikkan biaya pendidikan, memberlakukan undang-undang darurat dan menerapkan represi politik.
Di Indonesia, sejarah aktivisme mahasiswa itu bisa dilacak antara lain pada dekade 60 ketika kegaduhan ideologis mulai berkecamuk baik di lembaga pemerintah maupun lembaga-lembaga sosial nonpemerintah.
Saat itu mahasiswa turun ke jalan-jalan menuntut pembubaran partai berideologi komunisme dan aktivisme serupa diulangi lagi pada peristiwa malapetaka 15 Januari, yang dikenal dengan akronim Malari. Aktivisme mahasiswa besar-besaran yang turun di jalan-jalan juga menjadi salah satu faktor penting yang membuat penguasa Orba lengser dari panggung politik Indonesia.
Pola aksi turun jalan, demonstrasi untuk memengaruhi kebijakan pemerintah merupakan salah satu pilihan ketika proses politik di tingkat atas mengalami kemacetan. Namun di era kemajuan teknologi informasi yang kian pesat, aksi turun jalan mungkin akan semakin berkurang. Penggalangan suara sudah bisa dilakukan lewat media jejaring sosial.
Jadi masih perlukah mahasiswa turun ke jalan-jalan? Pertanyaan ini layak dimunculkan ketika gerakan pembentukan opini lewat media jejaring sosial cukup efektif untuk melakukan perubahan. Tampaknya, aksi fisik ke jalan akan semakin berkurang dan bukan mustahil pada akhirnya aksi dalam gelombang masif akan berakhir.
Namun, aksi-aksi jalanan yang sifatnya komunal, dalam jumlah kecil, yang dilakukan untuk mengungkapkan rasa solidaritas agaknya tetap dilakukan sebagaimana yang dilakukan di kalangan komunal sejumlah negara maju.
Apa yang membuat seseorang untuk tergerak ambil bagian dalam perubahan sosial di sekitarnya. Boleh jadi faktor terpenting adalah kemampuan individual dalam merawat kegelisahan dalam kalbu mereka. Sebagai individu yang meyakini ada misi profetik dalam dirinya, secara moral seseorang merasakan kebutuhan untuk peduli, memiliki andil menyelesaikan persoalan di sekitarnya.
Semakin matang seseorang dalam berempati pada orang lain, semakin luas kepeduliannya terhadap persoalan yang terjadi. Kematangan dalam berempati itu juga berpengaruh dalam memilah mana peroalan yang sektarian dan mana yang universal, alias lintas sektarian.
Jika kegelisahan itu sebatas pada persoalan dan kepentingan sektarian, yang terjadi justru kontraproduktif bagi kepentingan universal.
Masalah-masalah kemanusiaan yang lintas sektarian biasanya bertumpu pada persoalan keadilan. Apa yang adil tak dirumuskan dalam indikator kepentingan pribadi dan golongan. Jika seseorang mendapat perlakukan tak adil, dari manapun dia berasal, tanpa mempedulikan latar belakang etnisitas atau kepercayaan religiusnya, dia merasa terpanggil untuk bereaksi dalam bentuk memberikan pembelaan.
Untuk sampai pada pemikiran yang lintas sektarian ini, mau tak mau seseorang perlu melakukan refleksi, aktif berkomunikasi dan berdebat dengan berbagai kalangan dari beragam latar belakang ideologis, etnis dan keimanan.
Ikhtiar refleksi diri ini sesungguhnya harus ditumbuhkan pada mereka yang tengah dalam proses pembentukan karakter, untuk penumbuhan bibit kepedulian sosial tentunya bisa dimulai saat seseorang menempuh pendidikan tinggi.
Para mahasiswa di semester-semestar awal perlu berlatih mental dengan melakukan refleksi atas keadaan sekitar, dengan mulai ikut memikirkan persoalan sosial politik bangsa. Semua orang tahu bahwa persoalan bangsa saat ini yang paling fenomenal adalah meruyaknya korupsi, yang menggerogoti banyak sektor kehidupan. Yang menarik, bagamanakah jika situasi paradoks ironis terjadi dalam diri seseorang atau mahasiswa yang tengah melakukan refleksi untuk mengasah kemampuan empatinya pada orang lain? Artinya, bagaimanakah jika sang mahasiswa yang sedang mengembangkan refleksi kritis terhadap persoalan bangsa seperti korupsi itu justru menjadi bagian dalam keluarga yang korup?
Untuk keluar dari dilema atau paradoks ironis semacam itu, sesorang bisa menebus dosa-dosa keluarga dengan memilih jalan menjadi aktivis sosial atau memilih pekerjaan-pekerjaan yang paling getol memberantas aksi-aksi korup. Lahan pekerjaan yang bisa ditempuh adalah menjadi aktivis petualang yang misi utamanya penyelamatan lingkungan, atau menjadi jurnalis.
Dengan memilih jalan hidup semacam itu, penebusan dosa itu lebih dimungkinkan dibandingkan dengan jika dia berkiprah di dunia politik, bisnis atau pemerintahan.
Sejarah mencatat bahwa banyak dari aktor-aktor korup yang memiliki anak-anak yang bergerak menjadi aktivis di bidang kemanusiaan, entah itu bidang pendidikan atau kesehatan.
Tampaknya kegelisahan seseorang atas masalah sosial di sekitarnya bisa juga dipicu oleh gaung suara keprihatinan dari para moralis agung dibarengi dengan jerit suara orang-orang yang menderita akibat terlindas oleh kompetisi sosial yang kian sengit.
Setidaknya itulah yang pernah dikatakan cendekiawan Ernest Briton dalam menganalisis kegelisahan umum yang terjadi sebelum meletuskan revolusi di Perancis.
(M SUNYOTO/ANT)