
Penulis : Pidi Baiq
Penerbit : Pastel Book
Cetakan : II, Januari 2015
Tebal : 289 halaman
ISBN : 978-602-7870-67-3
Baru kali ini saya membaca buku yang pada pengantarnya disematkan bahwa buku yang berjudul “Drunken Monster” ini berbahaya. Benar adanya, buku yang disebut sebagai buku berbahaya ini benar-benar berbahaya jika isinya yang apa adanya diikuti oleh pembaca. Yang pasti, aktornya tidak merugikan bagi para pembaca, ada pesan agar manusia itu bisa saling berbagi dengan orang lain.
Misalkan kegilaan yang terjadi dalam bentuk kata-kata bisa kita temukan dengan mudah. “Sepulang dari sana, yaitu beberapa minggu kemudian, saya baca lagi buku ini Drunken Monster itu. Puji Tuhan, pada saat membacanya, saya benar-benar tidak bisa melihat matahari karena malam. Juga tidak bisa melihat bulan karena saya ada di dalam kamar. Dan, saya tidak bisa memakan pizza karena memang tidak ada” (hlm. 16).
Benar-benar gila secara logika, tapi benar adanya ungkapan di atas. Diksi dan kata-katanya benar dan tidak salah sedikit pun. Sungguh menarik. Buku ini merupakan salah satu novel yang berupa catatan harian dan isinya secara tersurat (dangkal), yaitu hanya sebuah bentuk kecerobohan belaka. Ada banyak kecerobohan dan kegilaan yang dilakukan oleh aktor utama di dalamnya. Tapi kegilaan yang ketika kita pikirkan dengan penuh perenungan, ada kebenaran yang tersirat secara sempurna dan utuh. Kadang kata-kata yang ceplas-ceplos dan mengalir begitu saja dianggap sebagai keanehan dan kejanggalan, padahal di balik itu semua ada makna hakiki yang sulit ditemukan oleh manusia secara umum.
Di metro itu, saya parkir motor di tempat orang lain yang juga sama parkir. Tak ada tempat khusus parkir. Tak ada tempat khusus untuk parkir motor direktur atau pejabat tertentu karena direktur atau pejabat biasanya tidak pernah pakai motor. Sebenarnya bukan karena tidak punya uang, orang kaya pastilah punya, tapi mereka tidak mau pakai motor. Karena? Karena takut jatuh, maksudnya takut nanti jatuh wibawanya. Padahal di mata rakyat, justru itu yang keren, lebih merakyat daripada naik mobil mewah dan pakai sirine, itu seperti ambulans. Ambulans? Iya, ambulans, tapi ambulans yang membawa orang yang sudah mati nuraninya (hlm. 72).
Kata-kata dan bahasa yang digunakan dalam pernyataan tersebut memang sembarangan dan mengalir begitu saja. Tapi, pernyataan tersebut cukup ampuh untuk membakar telinga orang-orang yang membaca. Lebih-lebih para pejabat negara yang sungkan untuk menggunakan sepeda motor. Itu hanya contoh sebagian kecil dari ungkapan yang terdapat dalam kisah ini. Masih ada banyak lagi sindiran dalam bentuk kata-kata yang mengalir apa adanya dan perlu dijadikan bahan introspeksi diri. Selamat membaca. [*]
Oleh: Junaidi Khab
Akademisi dan pecinta baca buku, tinggal di Surabaya.