Oleh: Abrari Alzael
Budayawan Muda Madura
Manusia, sejatinya sebuah mesin anti sosial. Thomas Hobbes, seorang filosuf asal Inggris, setidaknya bersepakat dengan kehadiran statement itu, manusia yang individualistik. Tokoh pemuja empirisme itu, mengkaji moralitas dan filsafat politik. Ia terkenal ketika menulis buku Leviatha. Ia juga sebagai ahli matematika dan pernah menjadi guru Charles II serta menerbitkan terjemahan Illiad dan Odyssey karya Homeros.
Tindakan manusia, menggabungkan rasio dan keinginan dalam bentuk nafsu dan pengelakan. Keinginan bertugas mengarahkan tujuan dari tindakan. Sedangkan rasio menyiapkan jembatan menuju terealisasinya tujuan itu. Kehendak ini, oleh Hobbes diistilahkan sebagai kekuasaan sebagaimana disebut dalam Campbell (1994). Karena itu, kehidupan manusia sejatining hasrat abadi yang tak kunjung padam guna meraih kekuasaan. Syahwat politik itu tidak bisa diam dan kemudian terhenti karena kematian manusia tiba.
Tujuan itu hanya bisa dicapai dengan cara berkonflik secara sistematis. Orang-orang berteriak, seilmiah mungkin di sirkus politik untuk mewujudkan missinya. Ketika mimpi itu terkabul, ia cenderung akan diam dan tiba-tiba bibirnya merasa sariawan. Pada konteks ini, manusia terjebak pada apa yang disebut sebagai persekutuan yang terkoordinasi secara paksa.
Situasi anarkisme yang berbalut intelektualisme politisi, secara tidak langsung mengguratkan sejarah atas terjadinya kekerasan yang berulang-ulang. Ini menegaskan bahwa di mana pun, tidak pernah ada sejarah dalam masyarakat yang tidak melibatkan kekerasan di dalamnya. Realitas ini juga membuat legitimasi baru terhadap Hobbes mengenai homo homini lupus, manusia serigala bagi manusia yang lain dan manusia musuh bagi manusia yang lain.
Struktur dasar manusia selalu menampilkan naluri kekerasan dan hal ini memang merupakan keadaan alamiah manusia (state of nature). Manusia adalah makhluk yang dikuasai dorongan irasional anarkisme-mekanistis yang kerapkali saling iri-benci dan karena itu menjadi kasar, jahat, buas dan pendek pikir. Tetapi, tidakkah di luar Hobbes masih banyak teori lain yang menegaskan manusia lebih baik dari srigala?
Pasca kematian Hobbes (1679), gejala kekerasan (violence), kebiadaban (barbarity), kekejaman (cruelty), dan prilaku lainnya yang melampaui batas kemanusiaan (inhumanity), lambat laut kian menua. Sebab secara kultural, gejala itu menjadi salah satu ciri kehidupan manusia yang tidak beradab (uncivilized). Sementara kehidupan kontekstual menghendaki yang beradab (civilized) dan bermoralitas yang tinggi.
Itulah sebabnya, Albert Einstein, merasa butuh cara berpikir baru agar manusia dapat bertahan hidup melalui perdamaian yang tak bisa digembala dengan kekuatan. Perdamaian cuma bisa didapat dengan pemahaman. Peter L Berger juga menjelaskan hal serupa bahwa melawan kekerasan dengan kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Mahatma Gandhi (1869-1948) akhirnya menggerakkan ahimsa untuk mengenyahkan kekerasan. Ia sangat yakin ketika melihat penderitaan seseorang yang mene-gakkan kebenaran, akan memberi pengaruh dan menyentuh nurani pelaku kesewenangan.
Tetapi akhirnya, ia dibunuh seorang lelaki Hindu yang marah lantaran Gandhi dianggap terlalu memihak kaum muslim, meski ia sendiri bukan penganut Islam. Tetapi masalahnya bukan seseorang itu apa agamanya, melainkan apa yang dilakukannya. Gandhi selalu puasa sebagai solidaritas dan menjadikannya sebagai perlawanan atas otoritarianisme rezim. Lalu apakah karena ia baik dan bukan muslim lalu Tuhan memasukkannya ke neraka? [*]