Oleh: Abrari Alzael
Budayawan Madura
Ia seorang tokoh dunia. Lahir di Brookline, Massachusetts, tanggal 29 Mei 1917. Kemudian meninggal di Dallas, Texas, dalam usia 46 tahun; Fitzgerald Kennedy, ditembak mati. Sekutu maupun seterunya akrab menyapanya dengan sebutan John F. Kennedy, Kennedy, John Kennedy, Jack Kennedy, atau JFK. Ia Presiden Amerika Serikat yang ke-35. Sebagai pahlawan ia diabadikan dalam sebentuk lapangan terbang di Amerika Serikat.
Pada tahun 1960, ia menjadi lelaki termuda yang dipilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Tetapi, ia sesungguhnya lelaki termuda kedua setelah Theodore Roosevelt untuk jabatan presiden. Kennedy 20 Januari 1961. Jabatan kepresidennya terhenti setelah terjadi pembunuhan terhadap dirinya pada tahun 1963. Ia tewas oleh terjangan peluru saat melakukan kunjungan ke Dallas (Texas) pada 22 November 1963. Salah satu kata bijaknya yang selalu diingat sampai hari ini; Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.
Lalu bagaimana jika puisi dan sastra bengkok sebelum politik? Jika ini terjadi, politik pantas diduga telah membuatnya tidak lurus sebelum akhirnya politik membengkokkan dirinya sendiri. Sastra, sebenanrnya tidak terlepas dari (kepentingan) politik. Tetapi, keduanya bukan sebagai dua hal mandiri, yang memiliki persinggungan di tepi wilayah masing-masing. Marka yang membedakan sastra dari yang bukan sas¬tra itu, terbentuk oleh dan sekaligus membentuk hubungan-hubungan kemasyarakatan yang berpolitik.
Mereka yang menengok pemikiran Barat untuk memahami kaitan (keterpi¬sahan) sastra dan politik, tidak selalu mengarahkan penjelasan mencapai sasaran yang sama. Romo Mangun, menghendaki perlunya sastra didekat¬kan dengan politik. Tetapi Kennedy (negarawan terbesar setelah Perang Dunia II) memiliki pendapat lain. Ia menjelaskan, andai saja mayoritas kaum po-litik lebih memahami puisi, dan lebih sebagian besar penyair tahu politik, dunia ini akan menjadi tempat yang sedikit lebih baik.
Ini senada Sapardi Djoko Damono yang mengadaptasi George Orwell, jika seorang pengarang melibatkan diri dalam poli¬tik, ia harus melakukannya sebagai warga negara, seba¬gai manusia, tetapi tidak sebagai pengarang. Namun, harus jelas bahwa karangannya merupakan sesuatu yang sama sekali terlepas dari kegiatan tersebut. Seorang penyair penganut pandangan sastra univer¬sal sebagaimana Abdul Hadi WM menjelaskan soal ini; Tujuan penyair adlaah merengut keabadian yang muncul di permukaan kesementaraan. Satu-satu¬nya ideologi kepenyairan ialah universalisme, sedang tanah airnya adalah kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri.
Manakala politik menjauh dari puisi, penyair kesepian. Politik kehilangan aku lirik dan menjelma monster. Orang-orang menjadi liar, memangsa politisi-birokrasi karena diseolahkan sebagai ATM. Mereka binal, tidak saja merampas hak-hak orang yang hidup, tetapi sebagian raga yang mati, digergaji pula. Tak ada lagi kehidahan dalam sangar wajah bangsa dan negeri ini membusuk sebelum waktunya.
Ruh politik tergerus dimana kemenangan memutilasi kebenaran akal sehat. Maka, Tak ada kemajuan bagi bangsa, manakala politik tetap bengkok pada rakyatnya yang bungkuk. Ini bukan kehendak untuk mendahului takdir politik, namun pada bangsa yang amnesia, sejarah akan menuliskan berbeda sesuai selera penguasa. Misalnya, penggambaran gelap terhadap tokoh kiri Indonesia, menggelapkan banyak bagian sejarah bangsa, seperti Tan Malaka. Hampir semua tokoh kiri dinafikan kontribusi positifnya terhadap negeri ini. Padahal, seharusnya kiri jalan terus seperti DN Aidit dan mungkin kita. (*)