
Editor : Ahkmad Sahal & Munawir Aziz
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, Agustus 2015
Tebal : 344 halaman
ISBN : 978-979-433-895-7
Gagasan Islam Nusantara yang dijadikan tema Mukhtamar ke-33 Nahdlatul Ulama, beberapa waktu lalu, sempat ramai di berbagai media cetak maupun elektronik. Tema tersebut pun mendapat berbagai tanggapan dari banyak kalangan. Pihak yang pro mengatakan, Islam Nusantara bukanlah sekte atau aliran baru, dan tidak dimaksudkan untuk mengubah doktrin Islam. Namun lebih mengartikan sebagai Islam yang toleran, damai, dan akomodatif terhadap budaya Nusantara.
Sedangkan pihak yang kontra menganggap sebagai pengkotak-kotakan Islam, primordial, anti Arab, bahkan secara ekstrem menuduh sebagai strategi baru JIL, Barat, Zionis atau pun semacamnya. Walaupun jika ditinjau dari sejarahnya, gagasan Islam Nusantara telah lama ada. Hal ini sebagaimana tulisan Mahsum Fuad mengenai “Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris”. Ia mengatakan bahwa pada tahun 1961 Prof. Hasbi Ash-Shiddiqie dalam pidato pada satu acara ketika Dies Natalis pertama IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta sudah menyampaikan gagasan tentang perlunya “Fikih Indonesia”. Yakni fikih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia. Hasbi juga merasa perlu merumuskan fikih Indonesia karena melihat betapa fikih yang berkembang di Indonesia lebih banyak didominasi oleh fikih Hijaz, Mesir atau pun fikih Hindi yang terbentuk atas adat istiadat dan ‘urf yang berlaku di tempatnya (hlm. 206).
Selanjunya pada dekade 1980-an, Gus Dur, tampil dengan gagasan “Pribumisasi Islam”. Dalam gagasannya itu, Gus Dur mengungkapkan bahwa pribumisasi Islam tidaklah mengubah Islam melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Gus Dur juga menegaskan bahwa inti dari pribumisasi Islam adalah kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi demikian memang tak terhindarkan. Selain itu, pribumisasi Islam bukanlah ‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa menambah hukum itu sendiri (hlm. 34-35).
Buku setebal 344 halaman ini patut dibaca masyarakat Indonesia. Terlebih, kalangan masyarakat akademis Islam, supaya memiliki pandangan yang luas tentang NU dan Islam Nusantara. Sebab, di dalamnya mencoba membedah wacana Islam Nusantara dari berbagai perspektif. Baik dari ushul fiqh, hingga sampai menelusuri sejarah dan mengaitkannya dengan tema kebangsaan. [*]
Oleh: Fery Topik
Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam di UIN Suka Yogyakarta.