
Penulis : Iwan Kuswandi dan Ihwan Amalih
Penerbit : Ladang Kata
Cetakan : I, Desember 2015
Tebal : 216 halaman
ISBN : 978-602-1093-10-8
Pesantren merupakan pusat pendidikan keislaman yang ada di Indonesia di mana kiai menjadi lokus keilmuan yang selalu ikhlas mentransformasikan energi-energi positif aneka ilmunya kepada seluruh santri. Kiai hadir bukan hanya sebagai seorang pedidik, tapi juga seorang agamawan, ulama.
Sebagai seorang ulama yang meneruskan tugas para nabi, kiai biasa menjelma dai yang siap mengajarkan berbagai disiplin keilmuan yang dikuasainya mulai dari fikih, kalam, tasawuf, hingga filsafat melalui lembaga pesantren yang dipimpinnya kepada para santri dan masyarakat luas.
Potret semacam itu hadir pada sosok Kiai Moh. Idris Jauhari (alm), putra kedua dari kiai Jauhari (peletak dasar dari pendidikan mu’allimin di Pesantren Al-Amien Prenduan, Madura). Sejak awal pendirian pondok, seluruh tenaga dan pemikiran kiai Idris telah diwakafkan pada pengembangan pesantren.
Dalam bidang pendidikan (tarbiyah), Kiai Idris menjadi semacam pembaharu. Tarbiyatul Mu’allimin al-Islamiyah (TIM) Prenduan sebagai karya utamanya, merupakan lembaga yang bisa dibilang identik dengan sistem Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI) yang ada di Pondok Modern Darussalam Gontor. Tetapi ia bukan bentuk duplikasi seutuhnya. Kiai Idris melalukan banyak inovasi dan pembaharuan di bidang-bidang yang sifatnya tidak prinsipil (halaman 158).
Untuk sekadar contoh, Kiai Idris banyak melakukan inovasi di dalam membentuk kurikulum dan meteri ajar yang diterapkan di pesantren Al-Amien. Sebagai alumni Gontor, tentu dari sana ia banyak belajar tentang teori-teori pendidikan, seperti teori pendidikan Mahmud Yunus yang ada dalam buku karangannya: al-Tarbiyah wa al-Ta’lim (Pendidikan dan Pengajaran). Tetapi apa yang didapat dari buku itu ia modifikasi sedemikian rupa dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya, sehingga ia mampu menulis buku daras semacam Mabadi ‘Ilm al-Tarbiyah (Pengantar Ilmu Pendidikan) dan Mabadi ‘Ilm al-Ta’lim (Pengantar Ilmu Pengajaran) yang berbeda dengan karya Mahmud Yunus tersebut (halaman 144-155).
Di lain pihak, dalam beberapa hal kiai Idris melakukan upaya tradisionalisasi terhadap sistem modern Gontor dengan prinsip al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik). Misalnya, ia memasukkan pengajian kitab kuning sejak 1983 sebagaimana dilakukan di pesantren salaf dengan sistem halaqah (santri duduk melingkar). Kitab-kitab yang dikaji antara lain, Bidayah al-Hidayah, Minhaj al-‘Abidin, Nashaih al-Ibad, Sullam al-Taufiq, Ihya’ Ulum al-Din, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, hingga kitab fikih komparatif Bidayah al-Mujtahid. Bahkan belakangan, sejak tahun 2010, telah dimasukkan pula materi ajar kitab kuning lainnya, yaitu Alfiyah Ibnu Malik, tanpa melalui proses materi ajar yang mendahului seperti di pesantren salaf, yaitu melalui kitab Jurumiyah dan Imrithi (halaman 160-161).
Ekperimen Kiai Idris ini—yang tidak ditemukan di lingkungan peasantren Darussalam Gontor—merupakan upaya memadukan tradisi dengan modernitas. Tradisi yang dimaksud adalah sistem salaf yang biasa dipakai pesantren salaf sebagaimana banyak berkembang di lingkungan masyarakat Madura, sementara modernitas yang dimaksud adalah sistem yang diadopsi dari Gontor.
Di sinilah kita melihat ada semacam kemiripan antara pemikiran keislaman Fazlurrahman dan pemikiran pendidikan Kiai Idris. Lebih jauh kita bisa menduganya sebagai pengaruh dari pemikir asal Pakistan itu pada Kiai Idris. Fazlurrahman, melalui double movement-nya di buku Islam and Modernity sebagai penjelasan terhadap teori interpretasinya terhadap teks al-Qur’an, menjelaskan bahwa untuk melakukan proses interpretasi diperlukan kajian terhadap aspek-aspek historis (asbab al-nuzul) dengan menyajikan problem kekinian (modernitas) ke konteks turunya al-Qur’an. Kerangka geraknya: masa lalu dan masa kini. Teori ini sebetulnya ingin menonjolkan satu hal: kontekstualisasi teks.
Maka, konsep pendidikan kiai Idris juga bergerak di wilayah yang mirip: tradisi yang sudah berkembang sejak dahulu (salaf) dan modernitas yang perkembangannya hadir belakangan. Hanya saja Fazlurrahman melakukannya pada teks, sementara Kiai Idris pada sistem pesantren. Tentu pemaduan tradisi dan modernitas sebagai sistem pesantren menjadi pertimbangan Kiai Idris untuk menjawab tantangan zaman. [*]
Oleh: Ach. Fadil
Alumnus pesantren Al-Amien Prenduan dan mahasiswa di Universitas Paramadina, Jakarta.