Kuba, negara yang kembali bergandengtangan dengan Amerika Serikat setelah seteru beberapa dekade itu pada 12 Februari 2016 menghadirkan peristiwa monumental. Pemimpin gereja Katolik dan pemimpin tertinggi gereja Ortodoks bertemu untuk kali pertama setelah hampir seribu tahun sejak perpecahan yang terjadi pada 1054 M. Paus Fransiskus berbincang hangat dengan Kirill. Terpancar sinar keteduhan dan kedamaian.
Dua pemimpin gereja yang lantas dikenal sebagai gereja barat dan timur itu sama-sama mengungkapkan keprihatinan krisis kemanusiaan di Timur Tengah dan menyerukan perdamaian. Meski banyak perbedaan antar keduanya, pertemuan tersebut diharap mampu berkontribusi bagi persatuan gereja.
Hal yang sama kiranya patut diupayakan oleh pengikut dua golongan dalam Islam: Sunni dan Syiah. Meski telah banyak digelar jumpa pemimpin kedua sekte, tapi, rupanya beda aliran macam itu masih terlalu gampang untuk dijadikan bahan bakar pihak-pihak nirkemanusiaan untuk menyulut perseteruan, bahkan perang. Perang saudara di Iraq, misalnya, PBB mencatat, selama perang sekte di negara bekas rezim Saddam Husein itu, pada 2006 saja menewaskan lebih dari 34 ribu orang. Bahkan sekarang, persatuan benar-benar nyaris terkoyak. Di negara yang terbiasa dengan nikah campur antarsekte itu kini sangat berbahaya untuk memiliki nama yang menunjukkan mereka penganut Sunni atau Syiah
Lebih ekstrem lagi, dengan kemunculan begal-begal berkedok agama seperti kelompok ISIS yang tidak segan-segan menghajar mereka yang berbeda paham. Dalam tataran akar rumput pun, wabah takfiri (gampang mengafirkan) merebak sedemikian masif membuat kesejukan agama berubah berhawa panas.
Maka, kita melihat akibat perang berkecamuk di Timur Tengah, arus imigran korban perang Suriah menyusuri ribuan mil, menuju negara-negara Eropa. Sebagian pengungsi disambut pelukan hangat oleh masyarakat Benua Biru. Meski begitu, tidak sedikit yang cenderung bersikap apatis dan bersak-wasangka menganggap gelombang pengungsi sebagai ancaman.
Begitupun dalam imaji para pengungsi, trauma sebagai orang Timur (baca: negara-negara Arab) terhadap laku invasi militer negara-negara Barat berdalih menegakkan demokrasi toh nyatanya semakin mengguratkan kekacauan tiada berakhir dan perang saudara. Lantas, dari sini manusia kemudian tampak sebagai homo homini lupus (manusia sebagai serigala bagi sesamanya).
Imaji Barat dan Timur
Menengok lebih dalam, termunculkan ada dua kubu dalam tataran masyarakat dunia kontemporer: Barat dan Timur. Membincangkan “Barat” berarti mengarah pada kemajuan teknologi dan informasi. Sedangkan “Timur” di-stereotip dengan keterbelakangan (Al Makin: 2015). Namun, pandangan ini nyatanya tidak tepat. Bahkan dikotomi tersebut luntur dan absurd ketika batas-batas antarkeduanya tidak dapat dijelaskan alias ambigu. Penciptaan istilah itu merupakan buih dari praktik siasat kolonialisasi semata. Dan, berangsur tidak relevan ketika keduanya saling membuka diri satu sama lain seperti sekarang ini.
Justru yang terjadi ialah sejak dahulu proses pergantian antarperadaban dibarengi proses penerimaan dan pembelajaran. Peradaban Islam (Abbasiyyah) terjadi lakon penerjemahan besar-besaran karya-karya ilmuwan Yunani. Begitupun kemajuan negara-negara Eropa juga mengadopsi karangan-karangan Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Ghazali. Demarkasi Barat-Timur tersembul hanyalah sebagai siasat kepentingan kaum kolonialis demi urusan kuasa dan harta.
Sayangnya, kubu-kubu-an itu masih terpakai hingga kini. Di mana Barat diasosiasikan sebagai Kristen dan Timur dengan Islam. Padahal asosiasi macam ini sudah ahistoris. Nyatanya Barat dengan mengacu negara-negara Eropa, tidaklah satu kesatuan. Mereka terdiri dari banyak suku dan bahasa. Ragam kultur macam ini juga dialami oleh Timur bahwa antara orang Indonesia, Pakistan, Jepang tidaklah sama. Di Barat, jumlah pemeluk Islam cukup signifikan. Begitu pula di Timur: India dan Jepang tidak didominasi Islam.
Secara batas geografis, Australia berada dalam zona Timur. Tapi, kulturnya mengarah kepada masyarakat Barat. Contoh anyar ialah Turki, yang berada dalam satu-kesatuan Zona Eropa alias bergabung ke Barat ketimbang memilih di blok Timur atau Asia. Hal ini menunjukkan adanya peleburan konkret dalam satu kesatuan masyarakat global; ketika batas geografis bukan sebagai pemisah.
Terlalu banyak ilmuwan Muslim tumbuh dan berkembang di Barat dan belakangan memunculkan oksidentalisme. Sedangkan oleh ilmuwan Eropa-Amerika, Timur dikaji sedemikian tekun sehingga menghasilkan orientalisme. Fenomena macam ini bukan diartikan saling mengancam, melainkan sebagai bentuk interaksi perkembangan keilmuan. Lebih jauh lagi, relasi bisnis berupa bentuk-bentuk pasar internasional bahkan sudah melampaui urusan Barat dan Timur. Berjejalan hamburger dijual di Indonesia. Begitupun nasi goreng menjadi menu andalan resto di Amerika.
Dari sini, muncullah identitas sebagai warga global. Di mana batas-batas negara tiba-tiba meluntur tanpa sekat. Bila hal ini disesapi, akan timbul rasa senasib sepersaudaraan untuk bersama-sama menanggulangi pemanasan global, kelaparan, dan terorisme. Ya, hal itu kita lakukan sememangnya karena kita tinggal di satu bumi; bumi yang sama. Meski berbeda warna kulit, bahasa, dan agama. Tak ayal kemudian, kodrat manusia otomatis terbentuk sebagai homo homini socius (manusia menjadi sahabat bagi sesamanya). [*]
Oleh: Muhammad Itsbatun Najih
Alumnus UIN Yogyakarta; tinggal di Kudus