
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 243 halaman
Cetakan : Pertama, Mei 2014; Ketiga, Desember 2015
ISBN : 978-602-03-2470-8
“Kedua gigiku telah mengajariku sesuatu. Mengajariku tentang nyali.” (hal. 141). Demikian kata Mono Ompong, tokoh kenek Ajo Kawir beberapa waktu sebelum bertarung melawan Si Kumbang.
Mengangkat cerita bertema nakal rasanya adalah hal yang perlu dipertimbangkan matang-matang untuk penulis yang tinggal di negara yang menganggap segala hal yang berkaitan kemaluan adalah perkara tabu. Tak hanya membutuhkan kepiawaian membangun ilusi erotis, namun nyali besar sangat dibutuhkan. Pada titik inilah Eka berdiri penuh nyali, menantang seluruh pandangan buruk dan tabu tentang seluk beluk kemaluan. Ia merubah dan menciptakan curah baru dalam dunia sastra negeri ini.
Dalam novel ini, Eka mengisahkan penderitaan Ajo Kawir karena ‘burung’ miliknya yang tak bisa berdiri. Semua bermula dari masa belasan tahun Ajo Kawir dan Si Tokek mengintip Rona Merah (perempuan gila) diperkosa oleh dua polisi era Orba. Selanjutnya, kisah demi kisah terjalin lengkap dengan kisah stensil, romantisme, guyonan, petualangan dan bahkan beberapa kali tampil bagai cerita silat.
Meskipun burungnya tidur, Ajo Kawir akhirnya menikah dengan Iteung, sosok gadis petarung yang menjadi bodyguard Pak Lebe, pemilik tambak dan pemerah harga diri Si Janda. Burung yang tak mampu bangun itu ternyata ujian yang mendatangkan ujian bagi Ajo Kawir. Iteung, seperti umumnya perempuan dewasa merasa tak cukup dengan permainan cinta ala Ajo Kawir. Ia serong dan bunting bukan dengan Ajo Kawir, dan hal itu membuat suaminya hidup berkelana di atas truk.
Impotensi, perkelahian, penjara, penghianatan istri dan pengalaman hidup lainnya menempa jiwa Ajo Kawir menjadi sosok sufi; ia justru bersyukur karena ketidakmampuan si Burung untuk bangun. Ajo Kawir berpetuah, Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. (hal. 126).
Penggunaan alur maju mundur membuat pembaca harus bekerja keras untuk mengingat apa saja yang telah dibaca pada bab-bab yang telah lewat atau siap dibuat mengangguk-angguk dengan bab yang akan datang. Pembaca benar-benar harus menyiapkan kesabaran karena bisa jadi dalam satu bab terdapat dua atau lebih alur maju sekaligus alur mundur. Apakah itu akan menyesatkan pembaca? Tidak. Dengan profesionalitasnya, Eka menyajikan maju-mundur itu dalam jeda yang singkat. Kadang, dalam satu paragraf megisahkan alur maju, dan pada paragraf berikutnya (setelah tanda pembatas) dipaparkan alur mundur. Ini semacam teknik menyelamatkan pembaca untuk mengurut jauh ke puluhan halaman sebelumnya. [*]
Oleh: Umar Affiq
Penikmat buku asal Rembang, Jawa Tengah.