Salah satu perangsang perekonomian modern, terutama di Indonesia belakangan ini adalah pemompaan aspek kepariwisataan. Semangat ini pula yang sedang disentuh dan dicarikan bentuk artikulasinya oleh pemerintah Sumenep, dengan mulai memasarkan keindahan beberapa pulau, situs bersejarah, dan lain-lain. Bahkan, pulau Gili Labak yang dulu tak diramaikan, kini mulai digencarkan bukan saja oleh mereka yang menjadi bagian birokrasi melainkan juga oleh aktifis media massa dan masyarakat yang mencintai potensi Sumenep.
Disadari atau tidak, hal ini merupakan realitas prospektif untuk mengangkat dan mengembangkan potensi serta aset sosial pariwisata yang dimiliki Bumi Sumekar. Langkah visioner dan kerja produktif dalam rangka mewujudkan dinamika perekonomian kepariwisataan yang baik tapi tak lepas dari akar tradisi Madura, tentu harus diprioritaskan dari pada sekadar daya tarik pragmatisme finansialnya. Sebab Madura, khususnya Sumenep, adalah simbol kearifan dan kelembutan budaya Madura dengan pelbagai keterbatasannya.
Pada ranah lebih jauh, bisnis dan perekonomian pariwisata juga tidak boleh mengikis simbol-simbol kebudayaan dan peradaban Madura yang amat kental dengan religiusitasnya. Ini sangat urgens diantisipasi sebelum terlambat. Sebab ketika ekonomi pariwisata hanya sibuk dengan sentuhan-sentuhan materialitasnya, dipastikan dapat meruntuhkan konstruksi tradisi dan karakter budaya Madura yang mengakar sedari leluhur. Padahal semua itu merupakan khazanah sosial kebudayaan Madura yang tidak boleh lenyap oleh gelombang zaman.
Tiga Catatan
Menyimak tulisan A. Busyro Karim, “Tantangan Nyata Pembangunan Pariwisata Daerah” di salah satu media cetak setidaknya ada tiga catatan yang mesti diketengahkan. Pertama, Busyro tak menampik bahwa tren globalisasi khususnya dalam kepariwisataan, memunculkan kekhawatiran dari berbagai komponen masyarakat. Paling tidak, usai Jembatan Suramadu beroperasi, perubahan sosial di tengah masyarakat Madura secara umum kian bergeser dari keluhuran tradisi dan budayanya. Remaja yang dulu rajin ngaji, di rumah-rumah kini beralih getol main Hand Phone (HP) dengan beraneka game yang melekat di dalamnya.
Tak cukup di situ, generasi muda Madura yang terkenal tak banyak tingkah dan taat ibadah, lantaran tren globalisasi, belakangan semakin lepas kendali secara moral, semisal pergaulan bebas hingga mengonsumsi narkoba. Bahkan, remaja yang masih duduk di bangku sekolah pun tak malu-malu memperagakan perilaku sosial yang sejatinya keluar dari norma dan nilai-nilai religiusitas ke-Madura-an. Ini nyata akibat tren globalisasi. Apalagi kalau ekonomi kepariwisataan kian dibuka lebar. Maka interaksi kultural dan pergulatan sosial politik akan hiperaktif.
Kekhawatiran Busyro adalah kegelisahan kita. Teknologi media komunikasi menciptakan aras baru interaksi sosial kemanusiaan tanpa pandang bulu. Dunia sosial kemasyarakatan seakan tak mengenal jarak dan batas. Semua bisa mencerna, meramu, merusak, memaksa, menyentuh, dan menyita dalam berinteraksi seketika. Yang potensi dan ahli akan menguasai, yang kurang bekal secara sosial komunikasi tersisih dan tereksploitasi. Konsekuensinya, berlomba saling menyentuh, menyita, menyapa, dan menguasai. Saling melandasi dan melintasi. Dan realitas sosial ini tak bisa dipandang sebelah mata, butuh kesungguhan semua pihak mengimbangi dan memagarinya.
Kedua, kesinambungan pemerintah, pihak swasta dan masyarakat, diketengahkan Busyro penuh optimistik. Wajar dalam posisi selaku bupati. Tak masalah kalau dilihat dari kacamata sebagai bagian penting pemerintah yang membutuhkan support swasta. Akan tetapi, Busyro perlu meletakkan jaminan kepada publik ketika pihak swasta yang digandeng melanggar komitmen sosial dan moralitas dalam perspektif ke-Madura-an. Bukan sekadar keuntungan finansial atau devisa negara dari jalur pariwisata yang dikejar, melainkan integritas kita sebagai masyarakat Madura pun layak diunggulkan.
Keuntungan finansial jelas hanya akan berdampak positif terhadap birokrat (birokrasi) dan tambahan devisa. Namun belum tentu bagi kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Tak usah jauh-jauh, selama Busyro memerintah hampir dua periode, pertumbuhan ekonomi masyarakat Sumenep berjalan di tempat. Atau, bisa juga dikatakan tak berprestasi. 10 tahun lalu, masyarakat Sumenep jarang merantau hanya untuk cari nafkah ke negeri luar. Akan tetapi, setidaknya 5 tahun belakangan, masyarakat Sumenep, khususnya di Pesisir Legung, Dapenda, Masalembo, kini mengais rejeki penuh risiko di Batam, Malaysia, Singapura, Saudi Arabia, dan sebagainya.
Lantas apa yang patut dibanggakan? Jangan-jangan program komersialisasi potensi dan aset pariwisata Sumenep yang sedang digalakkan pun hanya menambah beban sosial dan moral masyarakat Sumenep? Atau, ini hanya untuk memenuhi pencitraan dan pengejaran terhadap tren globalisasi tadi? Pelabuhan di beberapa daerah kepulauan saja tak terurus dengan baik. Sekadar contoh, menjelang Idul Fitri kemarin, seorang nenek terjatuh ke laut di pinggir pelabuhan Masalembo karena pelabuhan yang sempit dan tidak dipagari dengan baik. Apakah bupati sadar hal ini?
Ketiga, mempermudah perizinan dalam mengeksploitasi pariwisata sejalan dengan regulasi makro dan tidak merusak alam. Ini tampak baik, tapi mengandung banyak kejanggalan. Faktanya, cemara udang yang menjadi ikon wisata Lombang dan menggerakkan perekonomian masyarakat, belakangan dimusnahkan oleh investor yang diizinkan membuat tambak udang. Bahkan di Desa Dapenda, tanah-tanah yang ditumbuhi cemara udang kabarnya masih terus dilobi oleh segelintir bawahan pemda untuk diserahkan kepada investor, lagi-lagi untuk kepentingan tambak udang. Ambigu. Paradoks.
Untuk Siapa?
Wisata untuk siapa? Untuk rakyat atau pemerintah atau swasta? Kalau untuk rakyat, mari kembali dahulukan aspirasi dan rasa sosial rakyat. Seluruh dinas yang ada, terutama dinas perizinan, mesti diajari mengeja fakta dan rasa sosial rakyat, bukan sekadar jasa kuasa dan getol berinteraksi dengan investor. Rakyat punya mata dan telinga juga. Lebih dari itu, rakyat memiliki nurani dan realitas kehidupan masing-masing. Dan pemerintah ini bagian dari negara, milik rakyat, bukan milik satu keluarga yang (kebetulan) ada di lingkaran pemda.
Wisata kita, wisata rakyat. Wisata yang mesti dibangun dengan kenyataan sekaligus kebutuhan nyata rakyat, bukan oleh imajinasi kuasa dan politik ekonomi penguasa semata. Lombang adalah aset wisata dengan cemara sebagai ikonnya. Kenapa kini direcoki tambak udang yang jelas hanya ngejar keuntungan finansial dan tak berkelanjutan serta akan menyemburkan karbondioksida setiap saat lalu meracuni napas rakyat? Inikah yang dimaksud kesinambungan dan melibatkan budaya lokal seperti disinyalir Busyro?
Bahwa orang semua akan mati itu sunnatullah. Akan tetapi meracuni udara dan napas manusia dengan karbondioksida dan pelan-pelan melahirkan penyakit hingga menyebabkan kematian adalah perbuatan yang sama sekali diluar jalur rel nilai-nilai ilahi. Kalau wisata menjadi alternatif pemompaan ekonomi Sumenep, sebaiknya dirancang (dibangun) dengan hati, dan tidak semata ambisi ekonomi. Yakni, prioritaskan penyerapan dan pengolahan aspirasi maupun kebutuhan primer publik, bukan terlebih dahulu memberikan ruang lebar kepada investor (swasta). ***
*Masmuni Mahatma, Dosen STAIN SAS dan Ketua PW GP ANSOR Kepulauan Bangka Belitung.