Akhirnya gonjang-ganjing reshuffle kabinet kerja jilid II kepemimpinan Jokowi-JK menemukan titik terang. Tepatnya, ketika presiden Jokowi memberi kepastian melalui pengumuman langsung dari Gedung Istana Presiden (27/07). Dalam perombakan tersebut, muncul beberapa nama baru. Namun, juga terdapat wajah-wajah lama yang dipertahankan.
Reshuffle jilid II kali ini juga diwarnai oleh datangnya partai Partai Golkar pimpinan Setaya Novanto, dan PAN pimpinan Zulkifli Hasan. Kedua partai tersebut masing-masing mendapatkan satu jatah kementerian. Golkar melalui Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian. Sedangkan PAN diwakili oleh Asman Abnur sebagai Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Masuknya Golkar dan PAN dalam tubuh kementerian jokowi-JK secara otomatis memperbesar kekuatan koalisi pemerintahan. Sebaliknya, hengkangnya mereka membuat oposisi melemah. Sebagaimana diketahui, sebelum bergabung, dua partai ini berada pada jalur bersebarangan dengan pemerintah, satu barisan bersama Koalisi Merah Putih (KMP) pimpinan Prabowo.
Dengan begitu, Praktis kini tinggal Gerindra dan PKS dalam tubuh oposisi. Demokrat, masih cenderung mengambang. Sebaliknya, anggota partai yang mendukung program kerja pemerintahan era Jokowi-JK mengalami penambahan. Ada PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, PPP, dan dua pendatang baru Golkar dan PAN. Karenanya, dipastikan postur koalisi dalam tubuh pemerintah saat ini mengalami kegemukan, alias tambun.
Tidak efektif?
Sejatinya, dalam sistem ketatanegaraan tidaklah dikenal apa yang disebut koalisi-oposisi. Koalisi-oposisi dalam semangatnya muncul sebagai ikhtiar mengindahkan prinsip check and balance demokrasi. Karena, berdasarkan pengalaman rezim pemerintahan sebelumnya, orde baru. Ketika prinsip-prinsip check and balance tidak berjalan seimbang, maka akan berakibat kuat pada tidak efektifnya jalan pemerintahan. Cenderung sewenang-wenang, sulit dikontrol.
Itulah alasan kuat mengapa amandemen UUD 45 dilakukan, tidak lain bertujuan untuk menghidupkan kembali semangat check and balance. Karena, setiap roda pemerintahan yang tidak seimbang, katakanlah lebih terpusat pada kekuatan eksekutif, maka berpeluang besar munculnya perilaku menyimpang, korup misalkan. Sebab, meminjam bahasa Jhon Locke (1632-1704), setiap kekuasaan yang berlebihan (mutlak) cenderung melahirkan praktik destruktif.
Karenanya, sekalipun sistem negara kita tidak mengenal adanya oposisi, maka hadirnya kekuatan politik yang mengusung visi pengontrol dan penyeimbang seperti halnya sikap oposisi tetap diperlukan. Dalam dinamika politik kebangsaan, oposisi bukan semata simbol atas pandangan dan sikap politik berbeda kelompok non pemerintah, namun memiliki fungsi fundamen untuk mengawal, mengkritisi, dan mengoreksi setiap kebijakan pemerintah yang tidak senafas dengan nilai-nilai demokrasi.
Dalam hal itulah, berkaitan dengan dinamika politik kepemerintahan kita, publik amat menyayangkan sikap politik Golkar dan PAN yang keluar dari jalur opisisi. Hengkangnya kedua partai ini akan berakibat pada mengurangnya kekuatan oposisi, dan sebaliknya semakin memperkuat koalisi. Sehingga, besar kemungkinan akan berdampak signifikan terhadap tidak efektinya proses check and balance demokrasi kita.
Pada satu sisi, koalisi tambun memiliki nilai positif bagi pemerintah, karena akan lebih mudah untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan kebijakan, tanpa perlu lagi ‘gaduh’ seperti yang selama ini kita saksikan di gedung parlemen. Namun, pada sisi lain juga bisa berakibat buruk. Itu, bisa terjadi karena tidak adanya lagi keseimbangan. Idealnya, antara pemerintah dan oposisi adalah seimbang, katakanlah 50-50 persen. Sehingga, ketika ada kebijakan yang keluar dari asas demokrasi akan ada kekuatan lain yang membendung. mengontrol, mengawasi, mengkritisi, bahkan jika perlu menolak untuk selanjutnya diluruskan.
Persoalan lain yang paling mungkin terjadi dalam koalisi tambun adalah dinamika politik dalam tubuh pemerintah itu sendiri. Tidak mudah dalam menjalankan pemerintahan dengan banyak partai yang dilibatkan. Akan ada banyak tarik menarik antara satu partai dengan partai lainnya. Apalagi, bukan rahasia lagi kecenderungan partai politik merapat ke barisan pendukungan pemerintah tidaklah murni atas kesukarelaan diri, untuk ikut gotong-royong membantu pemerintah membangun bangsa-negara. Melainkan karena dorongan hasrat kekuasaan demi mendapatkan jatah. Sarat dengan kepentingan (dalam bahasa Coleman) pertimbangan transaksional.
Dramaturgi Politik?
Berdasarkan sejarah pemerintahan kita, koalisi tambun pernah ada pada era kepemimpinan SBY-Boediono, pada waktu itu jalan pemerintahan nyatanya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Rakyat menjadi saksi bagaimana SBY mengalami kesulitan menjalankan program kerjanya, lantaran terjebak oleh kegaduhan dan aksi sikut menyikut antara anggota koalisi sendiri.
Sebenarnya, sepanjang merapatnya partai non pemerintahan tulus atas dasar kesukarelaan, murni untuk membantu dan ikut bahu membahu membangun bangsa-negara, maka itu bukalah persoalan. Namun, akan lain persoalannya jika keikutsertaan mereka dibumbui oleh hasrat diri memperoleh kekuasaan. Apalagi, sejauh ini dinamika politik kita belum bisa lepas dari manuver dan komunikasi politik berbau pragmatis-opurtunis
Ervin Gofman (1922-1982) dalam tulisannya, The Presentation of Self in Everyday Life (1952) menjelaskan, dramaturgi (politik) merujuk pada setiap tindakan, sikap, dan perilaku sosial (politik) seorang yang memiliki wajah ganda. Antara perilaku muslihat dirinya ketika berada di depan panggung (front stage) dan perilaku dirinya yang sebenarnya ketika ada di belakang panggung (back stage). Ketika tengah berada di ruang publik dan di dalam istana mereka berkoar-koar, berkomitmen keras untuk setia mendukung pemerintah, namun ketika berada di luar bisa jadi mereka ramai-ramai memperbincangkan ‘parsel’ kekuasaan.
Oleh sebab karenanya, tinggal wait and see bagaimana jalan roda pemerintahan ke depan pasca reshuffle jilid II ini. Apakah perombakan kali ini akan menguatkan kinerja pemerintah sebagaimana dikatakan oleh Presedin Jokowi? Atau sebaliknya, sekadar bagi-bagi kekuasaan, kado atas merapatnya beberapa partai baru. Namun, sebagai bangsa yang mencita-citakan kesejahteraan dan kemakmuran, jelas kita menginginkan bongkar pasang kementerian kali ini murni atas dasar kebutuhan, bukan pemerataan kepentingan. Semoga! [*]
Oleh: Abd Hannan
Anggota Tim Riset pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya