Pertanyaan paling menggema yang perlu dijawab oleh kita di usia kemerdekaan yang ke-70, benarkah dengan kemerdekaan kita boleh santai dan menikmatinya?
Hal ini bukan retorika semata. Sebab, di usia kemerdekaan yang mulai menua, kemerdekaan ternyata malah menghilangkan persatuan dan kepedulian. Berulang-ulang kriminalitas terjadi secara tajam, mulai intoleransi, terorisme, korupsi, hingga pelecehan seksual yang sampai saat ini tak menemukan kata usai. Padahal, kemerdekaan pada awalnya adalah cita-cita yang menyatukan seluruh rakyat Indonesia. Cita-cita yang menanggalkan simbol-simbol kesukuan, ras dan agama.
Dengan kata lain, kemerdekaan merupakan suatu momentum berharga untuk melihat kembali keadaan dan tugas generasi yang merdeka.
Kemerdekaan yang Tergadai
Untuk melihat betapa tergadainya kemerdekaan kita, sebenarnya cukup melihat tingkat kriminalitas yang semakin tak terkendali. Betapa mudahnya sekarang, seseorang menghabisi nyawa orang lain karena faktor ekslusivisme beragama. Semangat bertuhan diformalkan dalam bentuk agama kultus (cultic religion) dengan merancang dogma yang dianggap baik dan melupakan pesan Tuhan yang sesungguhnya. Tetapi negara tidak dapat mencegahnya kecuali dengan memotong rantinga yang sebenarnya memicu tumbuhnya ranting lebih banyak.
Aset-aset penting negara yang seharusnya dikuasi oleh negara untuk keberlangsungan hajat hidup masyarakat, jatuh ke tangan kapitalis dan orang asing yang pada gilirannya membuat rakyat merelakan diri menjadi buruh di negeri sendiri, sehingga yang kuat dapat menindas mereka yang lemah dan terus memiskinkan keadaannya.
Selain itu, negara menjadi panggung sandiwara, di mana seseorang dapat berjabat tangan dengan mesra, jika ada kesamaan visi untuk meraih kursi. Tidak jarang, seorang anggota dewan yang satu menghina anggota dewan yang lain dan tersiar di televisi, viral di mana-mana tanpa ada rasa malu dan introspeksi diri.
Kesehatan yang seharusnya menjadi hak dan mendapatkan jaminan, malah ditingkahi oleh kepalsuan dan ketakutan-ketakutan biaya administrasi yang kadang sama sekali tidak dapat dijangkau oleh masyarakat banyak. Terutama di pedalaman.
Dengan kelemahan-kelemahan yang banyak itu, timbul lagi suatu sikap yang paling mengganggu, yaitu sikap tribalisme dengan mengukuhkan keangkuhan daerah tertentu dan meruntuhkan sikap nasionalisme (Tribalism may replace nationalism). Semangat Tribal ini akan terus memunculkan perpecahan tak tertahankan, karena sekelompok masyarakat yang merasa diikat oleh identitas tertentu; bahasa, kebudayaan, adat, agama, dan wilayah memandang orang luar sebagai ancaman terhadap eksistensi dan kepentingan kelompoknya. Semangat untuk bersatu mencintai tanah air yang diperjuangkan leluhur menjadi pudar.
Menebus yang Tergadai
Tetapi semua itu, bukanlah alasan untuk mengeluh dan mengutuk keadaan. Pertanyaan di awal tulisan dapat dijawab minimal dengan meneguhkan mental patriot. Mental yang tidak pernah mati berjuang, dengan tidak hanya melawan tetapi juga solutif memperbaiki keadaan.
Generasi pelanjut adalah yang dapat juga menebus kemerdekaan yang tergadai, minimal dengan menyelesaikan tiga hal. Pertama, kemerdekaa sosial. Ini adalah tugas paling krusial. Kemerdekaan sosial ini pernah dicontohkan dalam Fathu Makkah oleh Nabi Muhammad. Kesenjangan sosial yang teratamat tajam waktu itu barada pada posisi yang sangat menegangkan sekaligus membahayakan.
Maka, Nabi Muhammad kemudian menyampaikan pesan Al-Quran untuk berlaku adil. Misalnya, betapa berat ancaman bagi mereka yang kaya tetapi tidak memperhatikan kaum miskin dan anak-anak yatim dalam surah Al-Maun. Seorang kapitalis yang memonopoli banyak sektor ekonomi—seberapa banyak dia beribadah—akan dilemparkan ke dalam neraka huthamah, neraka yang panasnya membakar sampai ke hati (Al-Humazah).
Kedua, kemerdekaan dari keyakinan yang salah. Kemerdekaan ini menjadi sangat penting, karena aksi terorisme banyak bermunculan karena adanya keyakinan yang salah terhadap ajaran agama. Imajinasi beragama yang semakin tidak terkendalikan membuat seseorang lupa terhadap ajaran hakiki yang diperintahkan, sinar menjadi lebih menarik dari cahayanya. Muncullah agama kultus yang di muka. Sehingga ada guru atau ketua yang benar-benar dikultuskan dan melupakan agama yang sebenarnya membebaskan manusia dari pengkultusan manusia dan kekerasan.
Tidak hanya itu, tribalisme juga muncul karena keyakinan yang salah terhadap diri dan orang lain. Sehingga semangat ke-bhineka tunggal ika-an menjadi luntur akibat egoisme. Sehingga tidak bisa tidak terkadang antara satu daerah yang berbatasan dengan daerah lain dapat berkonflik karena lupa dengan amanat kemerdekaan dan semangat nasionalisme.
Ketiga, pancasila sebagai dasar negara, harus benar-benar dijadikan landasan ideologis-praksis yang menjadi ruh atas berbagai kebijakan. Pancasila bukan sekedar teks yang dibacakan di awal-awal upacara pengibaran bendera. Pancasila harus hidup dengan menerapkan semangat yang terkandung di dalamnya. Tentu oleh kita, generasi yang bertanggung jawab menghidupkan jiwa patriot. Jiwa yang tak pernah mati. Jiwa yang terus hidup dan dinugerahi kehidupan yang abadi. [*]
Oleh: Ach. Nurcholis Majid
Akademisi di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya