MALANG, koranmadura.com – Pasangan calon gubernur-wakil gubernur Jawa Timur, saat ini menyampaikan program yang akan dilakukan ketika terpilih sebagai pemenang dalam pilgub Jatim 2018. Hal itu terlihat dalam kampanye masing-masing paslon, baik Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak maupun Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno.
Namun begitu, belum ada di antara kedua paslon itu yang memberikan garansi tentang bagaimana cara rakyat Jatim menagih janji politik mereka. Masalah ini disorot publik, salah satunya dosen Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial di suatu universitas di Jawa Timur, Wawan Sobari. Menurutnya, jaminan itu tentu harus diberikan paslon, sebelum masyarakat menentukan pilihannya.
“Yang terpenting adalah itu, bagaimana masyarakat bisa menagih, mendapat kepastian bahwa semua itu akan terealisasi,” ujarnya, Kamis, 8 Maret 2018.
Ketua Pusat Program Studi Magister Ilmu Sosial di kampus pascasarjana itu mempertanyakan keberanian setiap paslon memberikan jaminan. “Jadi beranikah, paslon yang maju memberikan jaminan, dan membuat sebuah pusat pelaporan atau model sarana seperti apa, untuk masyarakat menagih bila terpilih,” tegasnya.
Bagi dia, janji politik selama kampanye adalah legal, karena merujuk kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan, bahwa janji politik bisa menjadi komponen dalam pembahasa Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). “Janji politik dalam kampanye memang dibenarkan, namun jangan hanya jualan, harus ada jaminan untuk merealisasikan. Daripada kampanye hitam, sebar hoax, justru berdampak memecah belah,” ungkap Wawan.
Menurut dia, memang semua program kerja maupun janji politik tak sepenuhnya dikenal atau dicatat masyarakat. Namun, sebagai calon kepala daerah, idealnya memberikan garansi terkait realisasi janji yang pernah disampaikan. “Kepercayaan masyarakat akan semakin tinggi, bila mereka disiapkan saluran atau sarana khusus menagih janji para kandidat,” tuturnya. (DETIK.com/RAH/DIK)