MADURA, koranmadura.com– Berbagai bencana yang terjadi di tanah air, termasuk di Pulau Madura, Jawa Timur, menyebabkan banyak pihak merasa kawatir. Kekawatiran itu dipicu karena sebagian bencana, justru terjadi di luar kebiasaan, seperti peristiwa tsunami di Banten yang tidak diawali dengan gempa bumi.
Sejumlah kalangan meminta agar pemerintah segera mengevaluasi sistem peringatan dini bencana karena sudah dianggap kurang bisa menjawab berbagai kemungkinan yang bakal terjadi.
Aktivis Lembaga Pencinta Alam (LEPA) Mahameru, Malang, Eka Kartika, mengatakan peringatan dini bencana seharusnya menjawab segala kondisi. Jumlah korban pada peristiwa tsunami Banten, bisa diminimalisir jika perangkat tersebut berfungsi dalam segala kondisi.
“Ternyata ketika tsunami terjadi bukan disebabkan oleh gempa bumi, peralatan tersebut tidak berfungsi. Karenanya, kami meminta untuk segera dilakukan evaluasi,” katanya saat dihubungi koranmadura.com, Selasa, 23 Desember 2018 kemarin.
Selain evaluasi terhadap perangkat penanganan bencana, LEPA menilai, sudah selayaknya pemerintah memasukkan pendidikan mitigasi bencana ke dalam kurikulum wajib di sekolah. Langkah itu memiliki tujuan agar setiap warga masyarakat memperoleh pengetahuan sejak dini terkait dengan bencana sehingga dapat meminimalkan jumlah korban.
“Wilayah negara kita, terutama Pulau Jawa merupakan kawasan rawan bencana. Di bagian selatan terdapat pertemuan lempeng bumi aktif dan di bagian utara, termasuk Pulau Madura juga dilewati patahan yang rawan terjadi gempa dan tsunam. Belum lagi bencana daratan seperti angin kencang, banjir dan lain sebagainya,” jelas Eka.
Langkah mitigasi awal, harus dilakukan secara swadaya oleh masyarakat sehingga penanganan bisa dilakukan secara cepat dan tepat, tanpa harus menunggu langkah tanggap darurat dari pemerintah.
“Karenanya, pengetahuan mitigasi melalui kurikulum pendidikan sangat dibutuhkan agar ada pengetahuan penanggulangan bencana sejak dini,” ujarnya.
Koordinator Tim Reaksi Cepat (TRC) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pamekasan, Budi Cahyono, menyatakan sepakat dengan gagasan tersebut. Menurutnya, budaya sadar terhadap bencana harus dibangun sejak dini melalui pendidikan.
“Mitigasi bencana penting menjadi bagian kurikulum pendidikan. Bentuknya bukan sekadar materi tambahan atau mata pelajaran tambahan, tetapi lintas disiplin karena pemahaman bencana dan apa yang perlu dilakukan saat bencana datang, evakuasi, dan penanggulangan membutuhkan pendidikan utuh,” kata Budi. (G. MUJTABA/SOE/VEM)