SUMENEP, koranmadura.com– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia melalui Penyuluh Anti Korupsi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Badrul berada di Kecamatan Dungkek, Sumenep, Madura, Jawa Timur, tepatnya di Desa Bicabi, Sabtu, 14 Maret 2020.
Selama dua jam, yakni dari Jam 14.30 WIB hingga 16.30 WIB, pria yang juga menjadi Pengolah Hasil Pemeriksaan Inspektorat setempat ini ‘Mengopas Desa’ dengan tema ‘Dana Desa untuk Siapa?’. Bersama para sarjana Dungkek yang tergabung dalam Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Badrul memulainya dengan memaparkan tentang perilaku koruptif para pejabat, Kades hingga aparat desa.
Menurut Badrul, korupsi benar-benar menggurita, karena dilakukan dari hulu ke hilir. Apalagi soal dana desa, cukup ‘seksi’ untuk dikorupsi. Bahkan berdasarkan data KPK, dari 2015 hingga 2019, dana desa yang sudah dikorupsi mencapai 299 miliar.
“Ini yang dilaporkan dan yang ditindak lanjuti KPK. Belum lagi yang tak dilaporkan. Berarti dana desa itu benar-benar menggiurkan,” ucap Badrul memulai.
Lalu, siapa para pelakunya? KPK mencatat, dari 263 kasus, 207 para pelaku adalah Kepala Desa. Modus utamanya ialah penyelewengan infrastruktur. Setelah Kades, kata Badrul, di bawahnya ada perangkat desa dengan 12 kasus, Bupati 8 kasus, kemudian juga ada Camat dan stafnya.
“Karena kadang Camat nyuruh stafnya. Kemudian juga ada LSM. Jadi, saatnya mengedukasi pejabat agar bekerja dengan benar. Maka ISNU harus menjadi garda terdepan melakukan edukasi,” jelas mantan aktivis PMII ini.
Badrul mewarning agar tidak menyepelekan tindakan korupsi. Karena kata Badrul, KPK tidak perlu meminta izin siapapun, termasuk tak melihat nominal. Yang terbukti bersalah akan dibui.
“Karena KPK lebih canggih. Maka kedatangan kami ke sini ingin menyampaikan pesan KPK kepada seluruh kepada desa agar tidak main-main soal dana desa,” tegas mengingatkan
Menurut Badrul, jika memang desa-desa mau maju, maka harus dimulai dari perumusan dan perencanaan yang transparan dan profesional. Semisal musyawarah-musyawarah yang ada di desa. Baik musdus, musdes, hingga musrembang.
“Kenyataannya kan beda, musdus tapi modus. Maka sudah saatnya orang-orang yang kompeten dilibatkan, bukan itu-itu saja yang diundang. Kapan desa mau maju kalau sarjana atau kelompok intelektual tak dilibatkan,” tambah Badrul menjelaskan.
Pria sederhana ini menantang para sarjana untuk berani mengawal realisasi dana desa. Di Dungkek ada 15 desa, jika ada yang konsisten mempelototi semua realisasinya, Badrul mengaku siap berpartner.
“Saya siap menjadi partner kalian, asal faktual,” tantang Badrul.

Berbagi Tips
Badrul pun berbagi tips untuk mengawasi dan mengawal semua pekerjaan yang ada di desa. Caranya bagaimana? Kata Badrul, masyarakat bisa ambil gambar, semisal ada pekerjaan di Dusun A, dengan panjang dan lebar sekian. Apalagi, sambungnya, pekerjaan yang sudah selesai itu wajib transparan dengan membuat papan kegiatan yang berisi volume dan anggaran.
“Silakan diukur, kalau mau mengukur panjang kilo, bisa pinjam meteran, kalau tak punya kan bsa pakek sepeda motor untuk mengukur kilo. Hasilnya cocokkan dengan papan nama kegiatan. Jika tak sinkron, berarti ini dikurangi. Di situ sudah ada indikasi korupsi,” urai Badrul sambil berbagi tips.
Belum lagi soal kualitas. Badrul menyatakan, masyarakat boleh membongkar jalan untuk ambil sampel jika tercium aroma korupsi.
“Sehingga nanti tinggal disampaikan hasil temuannya, indikasi korupsinya di mana, lokasinya di mana. Tidak usah takut, buat surat kemudian inventarisir seperti apa temuan dalam realisasi penggunaan dana desa itu, sampaikan ke pihak Kecamatan dengan tembusan Bupati, kalau perlu ke Inspektorat. Kemudian meminta Inspektorat untuk melakukan audit investigasi,” paparnya
Jika laporan itu terkait dana besar, misal 200 hingga 300 juta, Badrul siap membackup langsung. Karena laporan itu akan cepat ditindaklanjuti jika pelapornya orang KPK. “Kalau saya yang melaporkan, karena sudah orangnya KPK, hanya tinggal waktu kapan KPK turun. Tanpa nanya saya KPK, dalam kuran waktu 15 hari akan terlacak meski jejak digitalnya dibuang,” tegas Badrul.

Modus Kuitansi
Selain itu, Badrul juga menyampaikan soal modus penyelewengan DD/ADD. Seperti yang terjadi di salah satu desa di Sumenep. Ada satu pekerjaan yang diharuskan pakai batu. Menurut Badrul, batu itu ada kelasnya, kelas A dan B.
“Kami kroscek, ternyata batunya menggunakan kelas B. Namun di kuintansi tertulis kelas A. Ini modus yang kerap terjadi. Makanya, peran dari sarjana itu penting untuk ikut andil membenahi desa. Tentu dengan cara kajian dan riset. Karena gagasan-gagasan dari orang-orang berkompeten sangat urgen,” ujarnya
Selain itu, modus lain ialah meminjam DD untuk kepentingan pribadinya. Hemat Badrul, modus ini mulai jadi tren di kalangan Kades.
“Hati-hati, saat ini, KPK sedang fokus untuk memperhatikan tentang dana desa yang dipinjam. Karena ketika ditanya, dana desnya ada, tapi alasannya dipinjam hanya untuk beli mobil Innova. Saat diminta baru puyeng. Akhirnya cari ke mana-mana. Benar dikembalikan, tapi saat selesai diperiksa diminta lagi,” urai Badrul sambil disambul gelak tawa.
Pita Suara Kades
Sebagai sejian terakhir dalam acra Mengupas Desa Part One, Badrul meminta kepada seluruh pengurus ISNU Dungkek untuk bertanggung jawab menyampaikan kepada kepala desa terkait pita suara yang terlacak KPK. Termasuk, lanjut Badrul, pita suara Kades yang dilantik akhir tahun 2019 ini.
“Tolong ini disampaikan, gak apa-apa. Pada penggunaan DD tahun 2020, pita suara seluruh kepala desa yang sudah dilantik tahun 2020 sudah terlacak KPK. Mohon untun bekerja dengan profesional dan proporsional. Karena sekali lagi, KPK tak melihat siapa,” pinta Badrul sambil menutup kajian. (SOE/VEM)