Oleh: MH. Said Abdullah (*)
Ketika segala upaya keras dilaksanakan pemerintah bersama seluruh masyarakat mengatasi pandemi Covid-19 melalui antara lain larangan berkumpul, memakai masker dan mencuci tangan, pembatasan mobilitas masyarakat serta berbagai langkah lainnya seperti vaksinasi, tiba-tiba muncul seruan dari seorang yang dianggap pemimpin oleh pendukungnya agar masyarakat berbondong-bondong menghadiri sebuah acara. Sosok yang menyerukan, tersangkut kasus dan kini sedang menjalani hukuman karena pelanggaran hukum terkait penanganan pandemi.
Seruan berkumpul kepada masyarakat sangat jelas merupakan ajakan untuk melanggar peraturan penanganan pandemi. Karena disampaikan oleh seorang yang dianggap pemimpin oleh pendukungnya, makin memperlihatkan seruan merupakan tindakan penggalangan masyarakat untuk melabrak perundang-undangan penanganan pandemi. Ia, agaknya secara tak langsung menjerumuskan masyarakat ke dalam kesulitan terperangkap jerat hukum.
Tentu ini merupakan keganjilan dan bahkan merupakan ironi tragis jika dikaitkan dengan moralitas kepemimpinan. Seorang yang disebut pemimpin yang telah melanggar hukum sehingga terpenjara berada dibalik jeruji, tidak akan menjurumuskan masyarakat yang dipimpinnya untuk melakukan kesalahan sama. Ia justru akan berusaha melindungi rakyat yang dipimpinnya agar terhindar dari pengalaman buruk dirinya.
Ini baru sebatas kondisi diri sosok yang dianggap pemimpin terkait pelanggaran penanganan pandemi. Belum lagi persoalan lain menyangkut keselamatan masyarakat, yang digalang menghadiri sebuah acara.
Dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, apalagi ketika kembali ditemukan varian mutasi baru Covid yang lebih berbahaya, seruan berkumpul apalagi berjumlah ribuan, merupakan tindakan menjerumuskan masyarakat pada potensi terinfeksi Covid. Seruan berkumpul sangat jelas secara tak langsung merupakan kesengajaan menggiring masyarakat ke dalam bahaya terinfeksi Covid dengan resiko kematian.
Demi ambisi entah apa yang menjadi target kepentingannya, sosok yang dianggap tokoh itu telah mengorbankan masyarakat, yang mengelu-elukannya. Bukan lagi proses pembodohan menggunakan baju agama yang tampak bahkan merupakan tindakan keji, yang sengaja menjerumuskan masyarakat yang pada tingkat paling serius beresiko: kematian. Tentu fragmen kehidupan ini menjadi tragedi besar di era modern, ketika tanpa rasa malu, tanpa rasa bersalah, secara terbuka mengorbankan orang-orang yang mempercayai sebagai pemimpinnya.
Di tengah keterbukaan informasi dan komunikasi sekarang ini, siapapun mengetahui hampir dua tahun seluruh kekuatan negeri ini dan bahkan dunia berupaya mengatasi pandemi Covid. Pengorbanan pikiran, tenaga, materi, kungkungan budaya, nestapa psikologis dan bahkan nyawa sudah tiada terhitung. Di seluruh dunia. Tidak hanya di negeri ini. Karena itu tak ada kalimat yang dapat menggambarkan tingkat kejahatan kemanusiaan, yang dilakukan siapapun, yang menggalang dan mobilisasi masyarakat untuk terjerumus kembali ke dalam tragedi pandemi penuh duka nestapa.
Sekedar perbandingan selintas, betapa dasyat dampak ekonomi akibat pandemi di seluruh dunia. Hampir tak ada negara di tahun 2020 sampai pertengahan 2021, yang mengalami pertumbuhan berarti bahkan sebagian besar mengalami kontraksi minus. Itu artinya, dampak pandemi terhadap kehidupan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat di seluruh dunia benar-benar sangat dasyat.
Di negeri ini, ribuan dan bahkan puluhan ribu acara pernikahan terpaksa dilaksanakan sangat sederhana; hanya dihadiri beberapa orang demi mentaati peraturan penanganan pandemi. Dunia pendidikan menjadi salah satu sektor paling merasakan pandemi ketika aktivitas belajar mengajar terpaksa dilaksanakan secara online. Bahkan, peribadatpun terpaksa dilaksanakan dalam situasi darurat ketika masjid, gereja, kuil, kelenteng ditutup. Ketika situasi sedikit membaik saat masjid dibuka shaff-shaff sholat, tidak lagi semestinya seperti diperintahkan Rasulullah.
Masih sangat luar biasa banyak deretan dampak pandemi Covid sehingga terjadi nestapa, duka yang mengucurkan air mata. Puncaknya, sekitar 5,22 juta nyawa melayang di seluruh dunia. Dan di negeri ini tak kurang 144 ribu kehilangan nyawa akibat terinfeksi Covid-19.
Masih tak cukupkah kepahitan yang terpapar sangat jelas itu? Masih tergodakah melabrak pagar pembatas upaya pemutusan pandemi dengan berbagai aktivitas massal yang potensial menjadi penyebaran dasyat Covid? Hanya mereka yang kurang menggunakan akalnya, yang tertutup nafsu kepentingan dan kekuasaan, yang mengabaikan fakta-fakta tragedi akibat pandemi itu. Hanya mereka yang hancur nilai kemanusiaannya, yang masih tega mengorbankan masyarakat untuk kembali terjerumus petaka pandemi.
Kepada sebagian besar masyarakat yang berpikir jernih, marilah terus berusaha mencegah dengan cara apapun agar berbagai provokasi menjerumuskan dan berbahaya untuk melabrak upaya keras pemutusan pandemi tidak terjadi di negeri ini. Kita harus terus menjaga kondisi yang sudah membaik ini agar tidak kembali memburuk, karena ulah provotor berbaju agama. (*)
*Ketua Banggar DPR RI.