Oleh : Miqdad Husein (*)
“Survei itu bukan kitab suci yang dijamin mutlak kebenarannya hingga harus dipercaya seratus persen. Survei sebatas untuk perbandingan semata,” ungkap seorang pengamat.
Kalimat di atas mungkin agak terasa aneh karena berlawanan arus dengan pemahaman yang berkembang, yang menjadikan survei seakan segala-galanya. Sejatinya rangkaian kalimat itu sebenarnya normatif saja.
Simak deretan pertanyaan berikut, yang bernada mengkritisi survei. Mungkinkah survei terhadap kisaran 1.200 orang dapat menjelaskan keterwakilan pemikiran dan pilihan sekitar 200 juta orang? Apakah survei itu menjelaskan atau mengarahkan pilihan masyarakat melalui rekayasa opini?
Deretan pertanyaan itu belakangan mengemuka, menggelitik, menggugat akurasi dan representasi berbagai survei terutama terkait menghadapi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2024. Ada semacam tanda tanya besar, terutama jika membandingkan jumlah orang yang disurvei dengan keseluruhan masyarakat. “Apa iya sih, 1.200 orang itu, dapat mewakili pikiran dan pilihan 200 juta orang?” kata mereka lagi.
Lalu, dipaparkan berbagai data perbandingan. Jumlah daerah tingkat II di Indonesia berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri ada sekitar 514. Kecamatan seluruh Indonesia saja berjumlah 7.230. Lalu, desa dan kelurahan di seluruh Indonesia berjumlah 83.381.
Itu baru data riil geografis. Belum lagi menyangkut berbagai informasi yang terkait kebiasaan dan budaya masyarakat. Jumlah suku di Indonesia saja, tercatat lebih dari 1.300 suku. Cukup? Belum. Masih ada faktor yang menggambarkan keanekaragaman negeri ini. Indonesia saat ini memiliki luas 5.193.250 km dengan sekitar 16.771 kepulauan.
Berbagai data keragaman itu menjadi alasan untuk mempertanyakan berbagai hasil survei pilihan dan sikap masyarakat terkait kecenderungan pilihan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 misalnya. Mereka menganggap tidak rasional dan cenderung sekedar mengarahkan atas dasar kepentingan dan bla bla lainnya.
Prof. Dr. M. Din Syamsudin pernah secara terbuka mempertanyakan quick count saat Pilpres 2019. Alasannya, hampir sama. Mempertanyakan representasi terutama terkait jumlah sampling yang diambil. Padahal, untuk quick count jumlahnya jauh lebih besar dibanding survei serta lebih merupakan data riil.
Mereka yang skeptis menegaskan bahwa secanggih apapun methode survei sangat sulit dipercaya survei terhadap 1.200 orang dapat dianggap mewakili pikiran sekitar 200 juta orang. Apalagi dengan keragaman berbagai sektor sangat luar biasa dari negeri ini.
Tentu saja, pelaksana survei memiliki alasan rasional dan akademis mempertanggungjawabkan kinerjanya. Mereka kadang balik menuding, penolakan hasil survei biasanya dilakukan mereka yang ternyata dalam paparan hasil terlihat rendah. “Jadi, mereka kecewa karena dari hasil survei posisi elektabalitasnya rendah,” demikian biasanya, pelaksana survei menjawab.
Berbagai aturan survei untuk mengurangi berbagai manipulasi atau rekayasa memang diberlakukan. Misalnya, penegasan indepedensi penyelenggara survei, penyandang dana, termasuk keterbukaan dalam methode. Semuanya bertujuan mewujudkan tradisi ilmiah dan atau akademis di negeri ini.
Survei pada akhirnya memang, tergantung sepenuhnya keseriusan dari pelaksananya. Itikad obyektifitas menjadi faktor paling penting karena akan menentukan apa tujuan riilnya. Sehebat apapun methodelogi, jika sejak awal sudah ada niatan jauh dari obyektif, hasil survei yang dipaparkan ke masyarakat, bisa berobah.
Setelah itu, methodelogi survei menjadi faktor akurasi. Niat obyektif, penyandang independen namun salah dalam methode akan menghasilkan data dan fakta, yang jauh dari representasi riil.
Yang mungkin perlu dipaparkan dan dijelaskan kepada masyarakat, survei pada dasarnya sekedar mengetahui kecenderungan masyarakat. Bukan merupakan gambaran mutlak. Apalagi dengan keragaman luar biasa dari negeri ini. Jadi, tidak ada jaminan hasil survei pararel dengan hasil pelaksanaan Pemilihan Presiden, pemilihan legislatif misalnya.
Banyak bukti obyektif tentang survei hampir setiap lima tahun terjadi. Beberapa partai Islam, sering berdasarkan hasil survei terpapar sangat rendah. Namun, ketika pemilihan berlangsung, hasil yang diperoleh berbanding terbalik bahkan kadang sampai lebih dari dua kali lipat. Biasanya, pelaksana survei ketika dikomplain beralasan, kan ada jumlah masyarakat yang belum menentukan sikap. Mungkin itu, yang membuat hasil survei berbeda dengan fakta hasil pemilihan. Bisa aja ya?
Pada akhirnya, semua tergantung kemandirian berpikir masyarakat serta kinerja partai politik atau para calon peserta konstestasi, jika terkait pemilihan. Survei, di sini diposisikan sekedar membaca kecenderungan masyarakat.
Penting di sini, para akademisi, intelektual untuk terus gencar memberikan penjelasan kepada masyarakat, agar jangan sampai menjadi korban pengarahan dan pengerahan oponi melalui berbagai survei, terutama yang sudah dari sejak awal punya niat jauh dari obyektif alias bermuatan kepentingan.
Tidak mudah memang, membiasakan bersikap dan berpikir akademis serta mewujudkadkan sikap mandiri. Selalu banyak godaan dan tawaran, juga penyesatan pikiran. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.