Oleh: Miqdad Husein
Iran damai dengan Arab Saudi jelas merupakan peristiwa ‘bukan main dan bukan main-main.’ Terlalu banyak perbedaan mendasar dari dua negara itu terutama menyangkut mashab keterikatan keagamaan, yang puluhan abad berseteru. Iran bermashab Syiah sedangkan Arab Saudi sangat Sunny. Sebuah perbedaan yang sebenarnya lebih kental nuansa politik, yang sampai saat ini terasa di berbagai dunia Islam.
Perseteruan klasik kedua negara makin menegaskan betapa jarak keduanya demikian jauh. Apalagi selama ini Arab Saudi merasa sangat terganggu dengan berbagai manuver Iran yang dianggap akan merusak melalui apa yang disebut ekspor revolusi. Hubungan kedua negara terutama sejak Revolusi Iran 1979, praktis seperti api dalam sekam yang setiap saat dapat membakar. Berbagai langkah Iran, termasuk di Yaman, makin mempersulit kemungkinan kedua negara kembali berbaikan.
Namun, agaknya bagi China semua jelaga dan kendala itu bukan tanpa peluang untuk mendamaikan keduanya. Seakan berprinsip asal ada niat serius, kedamaian akan dapat diwujudkan. Dan ternyata terbukti. Dua negara ibarat kucing dan tikus itu bisa duduk manis untuk menyepakati kembali menyambungkan silaturahmi diplomatik.
Mengapa China berhasil? Di luar kemampuan diplomasi yang memang luar biasa ada faktor lain, yang membuat China lebih maju dibanding Amerika Serikat. Pertama, diplomasi China bersemangat pedagang. Laiknya pedagang, memang selalu berpikir untung. Namun pedagang selalu menempatkan kedamaian dan ketenangan sebagai syarat. “Tak mungkin berdagang di tengah dentuman senjata,” begitu prinsip dasarnya.
Konteks pedagang walau tetap mencari untung namun selalu memberikan ‘senyum’ kepada kedua belah pihak. Penjual atau pemilik dengan pembeli sama-sama berharap untung. Keduanya, ingin senyum dalam damai. Jauh berbeda dengan gaya Amerika Serikat, yang semangatnya menguasai. Karena itu, jangan pernah berharap kedamaian, minimal sulit. Yang terjadi justru sebaliknya: ada kecenderungan untuk saling mengaduk-aduk yang bertikai agar terus sibuk.
Di tengah kesibukan perang dari mereka yang bertikai itulah Amerika Serikat biasanya menebar jaring untuk menguasai. Jangan heran selalu kehadiran Amerika Serikat lebih banyak menjadi ancaman ketimbang ketenangan yang memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak. Perdamaian jika terwujud biasanya semu dan menyebabkan salah satu pihak dirugikan sementara pihak lainnya menjadi tangan kanan kepentingan Amerika Serikat. Jelas bedanya.
Kedua, Amerika Serikat memperlihatkan keberpihakan atas dasar siapa yang memberikan keuntungan dan sementara China berusaha memberikan keuntungan kepada semuanya. Bukan hal luar biasa jika selalu saja penyelesaian khas Amerika Serikat meninggalkan luka dan menebar kekecewaan. Lebih parah lagi ketika Amerika Serikat karena merasa superior lantas membela mati-matian salah satu pihak, yang dianggap menguntungkan atau menjadi bagian kepentingannya.
Sepak terjang Amerika Serikat di Timur Tengah selama ini sudah cukup memperlihatkan betapa terkesan -kalau tidak mau disebut sengaja mengaduk-aduk agar tidak stabil- bukan memperlihatkan kesungguhan mendamaikan. Amerika Serikat sudah menjadi rahasia umum seperti memanfaatkan kondisi labil untuk berdagang senjata kepada kedua belah pihak yang bertikai, terutama pada pihak yang dianggap mewakili atau sejalan kepentingannya. Setelah semua babak belur ditampilkan boneka. Karena boneka dan bukan suara rakyat, terjadi konflik sepanjang waktu.
Inilah mengapa China dengan diplomasi dagang, yang saling menguntungkan justru lebih disambut tangan terbuka. Semua dibuat gembira dan bahagia. China pun dapat berdagang dengan tenang. Owe untung, ente untung.
Namun tak berarti China tidak memiliki agenda terselubung seperti Amerika Serikat. Tak ada yang gratis dalam politik. Hegemoni China tetap menjadi ancaman dalam jangka panjang. Namun itu tadi- cara sangat halus, semua dibuat tersenyum terlebih dahulu. Karena itu, mewaspadai kebijakan geopolitik satu negara tetap harus dipancang tinggi-tinggi. Pedagang tetap pedagang: mencari untung.***