Oleh :Miqdad Husein
Anggota DPR RI dari Gerindra Fadly Zon melontarkan pernyataan agar Densus 88 dibubarkan. Usulan ini menanggapi pernyataan Direktur Pencegahan Densus 88 Kombes M. Rosidi yang menyatakan bahwa kemenangan Taliban di Afghanistan menginspirasi kelompok teroris di Indonesia meski paham berbeda soal agama.
“Euforia kemenangan Taliban dapat membawa dampak terhadap keberadaan kelompok teror di Indonesia. Paling tidak, dapat dijadikan sebagai sarana propaganda mereka,” jelas Rosidi dalam diskusi daring (5/10).
Fadly melalui twittnya menyebut pernyataan Rosidi sebagai narasi yang tak akan dipercaya rakyat lagi, berbau Islamifobia. “Dunia sudah berubah, sebaiknya Densus 88 ini dibubarkan saja. Teroris memang harus diberantas tapi jangan dijadikan komoditas,” sebut Fadly.
Pernyataan Fadly ini terasa aneh bin ajaib. Masih segar berbagai penyelesaian penangan teroris di Poso dengan kematian salah satu gembong Ali Kalora. Kasus temuan bahan bom 35 kg di kaki Gunung Ciremai, yang memilik kekuatan dasyat, juga menjadi bukti riil betapa eksistensi teroris di negeri ini masih merupakan ancaman serius. Semuanya memberi gambaran tentang betapa terorisme masih gentayangan di negeri ini.
Pernyataan Rosidi tentang Taliban bukan tanpa dasar. Fadly tentu mengetahui jejak buram Taliban selama berkuasa dengan berbagai tindakan kekerasan. Penegakan keislaman yang diklaim Taliban saat berkuasa tidak pernah sepi dari tindak kekerasan. Pelanggaran HAM demikian luar biasa. Taliban membawa peradaban manusia mundur ke puluhan abad masa lalu.
Tidak perlu menjadi sangat cerdas memahami potensi Taliban untuk menjadi inspirasi tindakan teror di negeri ini. Langgam dan perilaku Taliban, yang merasa paling benar sendiri serta sarat kekerasan gambaran paling jelas kesesuaian dengan berbagai tindakan teror. Konflik berdarah, yang masih terjadi, terakhir pengeboman di Masjid, seakan menjadi bumbu pelengkap.
Sangat faktual dan rasional kemenangan Taliban dapat menjadi sumber inspirasi terorisme. Dengan ideologi keislaman yang tertutup disertai jejak kelam tindak kekerasan, sekali lagi, itu tadi, tidak perlu berbekal otak jenius memahami potensi saling terkait itu.
Pernyataan Fadly bahkan bukan hanya kontradiktif dengan berbagai fakta obyektif. Usulan pembubaran Densus 88, justru makin memberi angin potensi berkembangnya terorisnya di negeri ini. Adalah benar jika pernyataan Fadly seperti disebut komisioner Kompolnas Poenky Indarti merupakan narasi teroris. “ Pernyataan Densus 88 harus dibubarkan adalah narasi-narasi dari teroris dan kelompok radikal, sehingga menyesatkan dan sangat berbahaya jika seorang anggota Dewan mendukung narasi tersebut,” tegas Poenky.
Sangat berbahaya dan berpotensi mengarah sebagai dukungan pada tindakan terorisme. Sebab, usulan Fadly, menyerang lembaga yang selama ini justru menjadi kekuatan negeri ini dalam memerangi terorisnya. Jadi, Fadly bisa dipahami jika kemudian dituding “seakan” memberi angin.
Sederhana sekali logika yang akan muncul. Jika ada yang mengusulkan agar lembaga yang gencar memberantas terorisme dibubarkan, logikanya bisa berarti ‘biarlah terorisme’ merebak. Tak perlu diberantas. Ini artinya, siapapun yang menuntut pembubaran Densus 88 adalah identik dengan memberikan dukungan pada tindakan teror.
Mungkin, sebagai lembaga selalu ada kemungkinan kekurangan pada berbagai operasi Densus 88. Adalah wajar jika misalnya, muncul berbagai kritik agar cara penangan Densus 88 diperbaiki. Namun, meminta Densus 88 bubar, benar-benar perlu dipertanyakan apalagi ketika disadari potensi teror masih sangat besar di negeri ini.
Siapapun apalagi yang berada pada posisi sebagai elite politik, tokoh agamawan, tokoh masyarakat, seharusnya menjaga diri dari berbagai kosa kata yang dapat memunculkan kontroversi sangat berbahaya yang dapat mendoron makin merebak tindakan teror. Berbagai pernyataan yang menuding pemerintah memusuhi Islam, kriminalisasi ulama, pemerintah bersikap anti Islam, tidak elok diucapkan mereka, yang disebut tokoh. Pernyataan itu lebih sebagai sensasi berbahaya, jauh dari esensi persoalan yang seharusnya dikritisi.
Untuk saat ini, akan lebih baik bila mengarahkan energi memperkuat penangan pandemi Covid-19 dan dampaknya. Itulah, prioritas paling mendesak yang perlu dilakukan dan bukan justru merecoki apalagi dengan berbagai pernyatan berbahaya.