Dosa dalam politik tak pernah lepas dari pusaran dan ingatan publik. Korupsi adalah salah satunya, seakan sudah menjadi budaya di setiap lembaga publik. Budaya tersebut telah berjalan lama di perpolitikan Indonesia, bahkan kini kian menggurita menyelingi gegap gempita demokrasi yang telah berjalan lebih dari lima belas tahun ini.
Ya, jika budaya yang berkembang luas adalah budaya positif, tentu kita akan mengindahkan. Namun, dalam konteks ini adalah budaya korupsi. Apakah sangat relevan jika kita indahkan? Tentu tidak.
Korupsi merupakan tindak pidana yang tak hanya meru-gikan satu pihak, tetapi ba-nyak pihak yang dirugikan di dalamnya. Dan tindakannya pun juga tak hanya mencakup satu kriminal, tetapi berbagai kriminal. Jika kita menilik lebih dalam tentang bahaya korupsi, tentu akan merasa malu jika melakukannya. Lihat saja, selain merugikan citra bangsa, juga akan merugikan masyarakat. Misalnya, korupsi tak hanya berkaitan dengan satu individu saja, tetapi terdapat amanah rakyat yang diselewengkan di dalamnya.
Oleh sebab inilah, bangsa Indonesia masih tetap berada di jurang kenistaan. Banyak rakyat menderita, untuk makan keseha-rian pun tak mampu mencukupi, justru pejabat tinggi negara bersenang-senang menghabiskan uang yang seharusnya diberikan kepada rakyat. Hanya imajinasi saja untuk dapat mencapai masa depan cerah, apabila pejabat tinggi negara justru semakin berkompetisi menilap harta rakyat.
Disadari atau tidak, korupsi yang dilakukan petinggi negara disebabkan oleh kehidupan hedonis, keserakahan dalam hidup, kepentingan kelompok, dan juga konsumerisme perso-nal. Dan itupun justru diimbangi tindak laku masyarakat yang semakin permisif dengan segala modus operandinya. Pemberantasan korupsi tak berjalan dengan maksimal akibat penegakan hukum yang seringkali mendapatkan hambatan dari berbagai pihak.
Namun sayang, seakan pelaku korupsi kini justru terlihat dilindungi penegak hukum. Hukum yang diberikan hanya akan membuat senang koruptor, remisi bagi koruptor pun semakin murah. Ketika koruptor dihukum, justru mendapatkan fasilitas bak hotel berbintang lima. Seakan hukum sudah menjadi objek jual beli antara koruptor dan penegak hukum. Sangat ironis sekali.
Padahal, korupsi merupakan bahaya dahsyat bagi negeri. Sangat lucu jika hukum yang diberikan tak sesuai dengan apa yang telah dibuatnya, yang telah merugikan berbagai pihak. Akibat korupsi lebih dahsyat jika dibandingkan dengan teroris. Namun, hukuman yang didapatkannya pun lebih enak diban-dingkan dengan teroris. Koruptor hanya dipenjara beberapa tahun dan membayar denda yang jumlahnya tak saja, sedangkan teroris dihukum mati. Memang benar jika banyak yang mengatakan, hukum masih memihak koruptor.
Dilihat dari tindak lakunya, korupsi lebih kejam daripada aksi pencurian. Mengapa demikian? Sebab, aksi pencurian hanya dilakukan secara personal terhadap barang milik perseorangan saja, sedangkan korupsi dilakukan personal atau kelompok terhadap milik umum dan luas. Selain itu, biasanya aksi pencurian dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi korupsi dilakukan oleh individu maupun komunitas secara terang-terangan dan berangsur-angsur tanpa rasa malu sedikit pun.
Pantas saja jika masyarakat sudah muak dengan para pe-tinggi negara, dan seolah sudah tak percaya lagi kepada pemimpinnya. Yang dilakukan petinggi negara hanyalah penghianatan kepada publik. Kekuasaan hanya dijadikan alat vital untuk memperkaya diri dan mempergendut rekeningnya saja. Lalu, apa gunanya proses demokrasi yang sudah berjalan lama di Indonesia ini? Apabila menghasilkan elite politik yang tak bertanggung jawab? Tentu harus dilakukan revisi demokrasi. Sebab, proses demokrasi yang ada hanya berkutat pada pergantian birokrasi administratif dan rutinitas sirkulasi kekuasaan. Sementara, kesejahteraan rakyat tak mendapatkan jawaban dari pejabat publik, bahkan tak sesuai harapan.
Korupsi sudah menjadi pe-nyakit kronis yang mengakar di perpolitikan Indonesia, karena itulah korupsi harus dibasmi secepatnya. Memang, pembasmian korupsi sangat sulit dilakukan, dan itupun tentu membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan secara kontinu. Tetapi masalahnya, praktik korupsi yang mengakar di negeri ini disebabkan oleh lingku-ngan sekitar sendiri yang justru cenderung mendukung. Apabila tetap demikian, korupsi pun sulit untuk dibumi-hanguskan.
Berawal dari hal itu, diperlukan berbagai upaya untuk me-lakukan dekonstruksi sosial terhadap berbagai modus penyebab korupsi. Pertama, menghindarkan politik oligarki. Budaya politik seperti ini menyebabkan konstruksi sosial masyarakat menjadi salah. Seolah uang hanya menjadi orientasi setiap individu. Hal demikian justru dijadikan cara para elite politik untuk menarik simpati rak-yat. Padahal, yang dibutuhkan rakyat bukanlah proses politik yang instan dan terkesan transaksional, tetapi kekuasaan dan kepemimpinan yang kuat pada pemerintahan. Rakyat harus lebih membuka mata lebar agar tak terperdaya terhadap politik transaksional. Sebab, politik seperti itulah yang menyebabkan elite politik merasa telah membeli rakyat. Maka dari itu mereka akan meminta ganti ruginya, yaitu dengan melakukan pidana korupsi.
Kedua, budaya hedonis, konsumeris, dan permisif para politik harus dihilangkan. Budaya seperi itulah yang menyebabkan para koruptor mendapatkan kesempatan dalam memenuhi hasrat keserakahan dan mencari enaknya saja. Tanpa memandang nasib rakyat di bawah yang bersusah payah untuk mencari makan, justru para elite politik berlaku hidup hedonis.
Ketiga, hukum harus dite-gakkan lebih tegas tanpa pandang bulu. Namun, masalahnya budaya ewuh-pakewuh juga masih dimiliki lembaga penegak hukum. Maka, untuk menegakkan hukum sebenar-benarnya, yang harus dilakukan lembaga hukum adalah membakar budaya ewuh-pakewuh terdahulu. Setelah itu, baru memberikan hukum kepada elite politik yang melakukan tindak pidana korupsi dengan seberat-beratnya.
Keempat, mencabut gelar akademik para koruptor. Gelar yang didapatkan dari perguruan tinggi seringkali hanya dijadikan alat untuk mencari jabatan dalam publik. Apabila gelar akademik perguruan tingggi dicabut, tentu para koruptor akan sulit untuk mencari jabatan yang layak dalam publik. Dengan itu pula, petinggi negara akan lebih berhati-hati lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang dijalankannya. Wallahu a’lam bi al-shawab. [*]
Oleh: Muhammad Ali Fuadi
Peneliti di Forum Diskusi Sosial Keagamaan (FORDISSKA) UIN Walisongo Semarang