Tentang Buah Kèrsen
Buah serupa bulatan-bulatan kecil mirip buah ceri; jika matang warnanya merah merona. “Sungguh warna yang unik,” katamu waktu itu.
Rasanya manis, tapi dijamin tak bikin kencing manis, dan tak mencubiti tenggorakan; kita menyebutnya buah kèrsen.
“Hebatnya lagi, buah itu tak bikin nderedeg!” tambahku.
Lalu kamu tertawa
Kita tertawa !!!
“Dulu di sana pohon kèrsen itu tumbuh. Buahnya lebat,” katamu sambil menunjuk ke ujung pematang yang kini dihimpit gedung-gedung tinggi itu.
“Sekarang kemana pohon itu?”
“Sekarang..???” Aku berpura balik bertanya.
“Ya, sekarang.”
“Sekarang, sudah sore. Ayolah, kita pulang!” Kataku tenang, seperti sedang mungunyah buah kèrsen setengah matang.
Sejenak kamu diam tak bergerak. Mata sayumu menatap jauh. Di ujung pematang itu, seakan kamu melihat; pohon kèrsen itu masih tegak berdiri dan berbuah lebat; dan sepulang sekolah, anak-anak berseragam putih-merah itu sambil bercanda-ria, masih tampak berebutan memetik buah manisnya!
(Pamekasan, 2015)
Lima Tahun Silam
Gerimis jatuh di ujung subuh. Dari balik kaca jendela kamarnya yang sederhana, ia intip dengan khusyu’ semburat warna kemilau jemari-jemari bening yang menakjubkan itu.
Burung-burung menunda kekicaunya. Dedaunan dan bebunga tak berkutik dalam dekapan dingin. Pagar dan halaman rumahnya membasah.
Sekonyong-konyong gugusan kenangan lima tahun silam, kembali berselibat dalam ingatannya ; gemerisik pinus yang merayu, gumpalan kabut yang memeluk lembut, padang pasir yang menghampar rindu-rindu, bunga adelweis yang wanginya sakral sungguh.
Bromo, Bromo !!!
“Hey.., apakah kamu kenal Rara Anteng? Punya alamat facebooknya?” tiba-tiba sebuah suara demikian menggema di sekelilingnya. Wangi adelweis menyeruak.
Ia tersentak !
(Pamekasan, 2015)
BH. Riyanto atau Budi Hariyanto; Lahir pada 15 Oktober 1973. Menulis puisi dan melukis. Dua buku kumpulan puisinya yang telah terbit; Pesan Pendek dari Tuhan (2013) dan Suramadu; Kisah Kau-aku (2015). Tinggal di sebuah kampung di ujung timur Pamekasan.