
Novel Anak-Anak Pangaro karya Nun Urnoto El Banbary merupakan potret buram masyarakat Pulau Giliraja, Sumenep. Nun berhasil menyajikan fakta kemanusiaan yang terdapat di pulau ini dengan menampilkan tokoh utama bernama Ummi Salamah. Sosok pe-rempuan ini memiliki ‘pangaro’ atau keberuntungan karena mendedikasikan hidupnya untuk kemaslahatan bersama. Ia bertualang di pulau ini dengan misi menumpas kemaksiatan yang semakin merajalela.
Selama ini, Ummi Salamah mengenal karapan sapi, ketoprak dengan cerita Ken Arok dan Ken Dedes, Angling Darma, Kamandaka, Bendoro Saod yang sakti dari Sumenep, Potre Koneng yang hamil tanpa seorang suami, dan Joko Tole dengan kesaktian ajian Mega Remeng yang masyhur. Sayang, kesenian ketoprak dijadikan sebagai ajang bermain judi semalam suntuk. Mereka membuka judi rek-kerek, bola gulir, atau aduan telur ayam kampung.
Nun juga mampu mendeskripsikan kondisi ekonomi masyarakat Pulau Giliraja dengan baik. Di pulau ini hanya ada satu televisi tak berwarna milik Pak Haji Pagi. Radio butut hanya orang-orang tertentu yang memilikinya. Sedangkan komputer hanya terdengar namanya saja. Handphone, hanya segelintir orang yang punya. Jika malam hari, pulau ini hanya diterangi bintang-gemintang karena tak ada cahaya listrik yang meneranginya. Anak-anak yang mengaji di surau atau membaca buku pelajaran di rumah hanya diterangi lampu teplok.
Sosok Ummi Salamah dalam novel ini memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Terbukti, ia bersama pihak kepolisian ikut menumpas Grup Pettheng yang telah membuat onar di pulau tersebut.
Di tengah hiruk-pikuknya kehidupan masyarakat Pulau Giliraja Sumenep yang sengkarut, novel ini juga menyajikan romantika cinta antara Ummi Salamah de-ngan Zainal. Sayang, cinta memang tak harus memiliki, begitulah salah satu bait syair lagu yang kini masyhur. Ternyata, Rahayu juga mencintai Zainal. Dengan penuh percaya diri, Rahayu mengaku bahwa mereka sama-sama saling mencintai. Ummi Salamah terpaksa merahasiakan keinginannya untuk menjalin asmara de-ngan lelaki tersebut.
Novel ini serupa catatan sejarah yang dikemas dalam cerita fiksi. Sebagai karya fiksi yang diangkat dari fakta sosial, novel ini berisi sesuatu yang nyata, tetapi juga berisi sesuatu yang fiktif. Nun me-nyajikan ketimpangan sosial dan dekadensi moral tanpa melukai siapa pun. Nun berhasilmenyajikan kondisi masyarakat Pulau Giliraja Sumenep dengan racikan bahasa yang lembut.
Oleh: Suhairi Rachmad
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya.