Bahwa Karapan Sapi merupakan warisan tradisi Madura, semua orang sudah tahu. Sejak pertama kali dikenalkan oleh Syekh Baidlawi (Pangeran Katandur) pada medio 1550, Karapan Sapi tetap lestari hingga kini.
Fakta ini kemudian membuat Glen Smith (1981) dan Hube de Jonge (2011), menulis konklusi betapa sangat penting arti sapi bagi masyarakat Madura! Dari catatan mereka kita menemukan statemen yang agak satir: laki-laki Madura lebih sayang sapi daripada istri.
Selain itu, Karapan Sapi acapkali dimaknai sebagai bentuk sublimasi watak keras orang Madura. Nyaris semua peneliti asing berkesimpulan demikian. Mereka cenderung fokus pada satu sudut-bidik saja. Padahal dulunya, dalam peristiwa Karapan Sapi, terdapat sisipan tradisi susastra yang layak dihidupkan lagi.
Pada 1980-an, D. Zawawi Imron menulis artikel berjudul “Sastra Madura: yang Hilang Belum Berganti”. Rupanya, menurut kesaksian D. Zawawi Imron, lapangan Karapan Sapi tempo dulu memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai tempat pacuan sekaligus deklamasi kesusastraan.
Deklamasi tersebut disebut lok-alok. Biasanya, lok-alok dilantunkan pada saat jeda antara dua sesi Karapan Sapi. Usai mengerap sepasang sapi pada sesi pertama, tokang lok-alok (sebutan untuk pelantun lok-alok) berdiri di tengah lapangan untuk membacakan sambutan puitisnya.
Isi sambutannya kebanyakan puji-pujian terhadap sapinya sendiri, namun tak jarang pula keluar petuah kearifan yang berkaitan dengan kehidupan. Materi lok-alok memiliki nilai sastra tinggi. Kata-kata yang diucapkan bukan sembarang kata. Tokang lok-alok menyiapkan kata-katanya sepuitis mungkin.
Lok-alok banyak dijumpai di desa-desa. Lok-alok dibacakan hanya ketika Karapan Sapi dilakukan sepasang tanpa lawan. Umumnya saat latihan. Di dalam kontes resmi, lok-alok tidak akan kita jumpai.
Sayang beribu sayang, lok-alok—ekspresi susastra asli Madura—kini hilang. Sejak kali pertama nonton Karapan Sapi, belum pernah saya melihat langsung peristiwa lok-alok. Pengalaman yang sama mungkin juga dialami Glen Smith dan Huub de Jonge, sehingga mereka tidak menemukan cita rasa lain di dalam Karapan Sapi selain aroma kelaki-lakian dan kekerasan.
Menyandingkan Karapan Sapi dengan tradisi sastrawi, bukan ikhtiar baru jika kita sudi menginsyafi bentangan panjang tradisi sastra Madura de-ngan cara paling hati-hati. Madura sendiri terjahit dari dua helai diksi imajinasi: “madu”-“darah” atau “madu”-“ara”/tanah lapang.
“Arkeologi imajinasi” macam itulah yang membuat sastra berlangsung (living) dalam aras kultul Madura. Untuk membuktikan pun tidak sulit. Kita bisa melacaknya pada lagu anak-anak yang biasa dinyanyikan di seantero Madura. Salah satu contohnya adalah petikan lagu berikut: ghai’ bintang aduh ghagghar bulan, paghai’na jhanur koning… dari seutas janur kuning/kusengget bintang-gemintang/namun yang jatuh ke pangkuan ternyata rembulan.
Lagu anak berbahasa Madura tersebut tentu jauh lebih puitis ketimbang lagu serupa yang berbahasa Indonesia. Misalnya lagu: “Ambilkan bulan, Bu…Ambilkan bulan, Bu…” Perban-dingan ini hanya tamsil betapa masyarakat Madura memiliki selera sastra yang tinggi, bahkan telah didenyutkan pada anak usia dini.
Kondisi itu juga didukung oleh tatanan intim antara ke-susastraan di satu sisi, dan kekuasaan di sisi lain. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat, Raja Sumenep yang memerintah pada 1811-1854 misalnya, dikenal memiliki pengetahuan (ke-susastraan) yang adiluhung. Ketika dia mendapat kiriman teks Sansakerta dari Bali, dia mampu menerjemahkannnya dengan baik.
Penguasa Inggris untuk Jawa-Madura, Thomas Stamford Raffles (1781-1826) sangat terkesan. Dua tahun kemudian, Raffles mengirimkan surat yang berisi pengakuan bahwa hasil terjemahan Sang Raja Sumenep itu sama persis dengan hasil terjemah yang dilakukan penerjemah lain di India.
Raffles kemudian menganugerahkan “Letterkundige”, semacam gelar dokor honoris causa bidang kesusastraan dari pemerintah Inggris untuk Sultan Abdurrachman. Dialah orang pribumi pertama yang mendapat penghargaan akademik dari Inggris. Berkat jasanya pula, The History of Java, lahir dari tangan Raffles.
Intimasi kekuasaan dan kesusastraan hanya mungkin terjadi bila penguasa sadar bahwa sastra menjadi prasyarat bagi munculnya bahasa-rasa. Pemimpin yang baik ialah dia yang mampu mempercakapkan bahasa-rasa dengan rakyatnya. Dan, Sultan Abdurrachman tampaknya sadar bahwa kereta politik yang ditungganginya ditarik oleh “dua kuda”: kuasa dan sastra.
Tak heran jika dulu, tak jauh dari Labâng Mesem, sebutan gerbang Keraton Sumenep, berdiri sebuah pendopo joglo tempat berkumpulnya para pujangga. Hanya, kita tidak menemukan karya-karya sastra peninggalan mereka. Namun, bukan lantas Madura asing dengan tradisi tulis, seperti dipersepsi keliru oleh kebanyakan peneliti.
Menurut Ahmad Baso (2012), di Perpustakaan Leiden, Belanda, terdapat—setidaknya—196 naskah Madura (baik ditulis dengan huruf Madura sendiri maupun Arab pegon atau aksara Jawa) yang berisi tentang nubuat politik, strategi perang, teori perdagangan, catatan kebudayaan, teks kesusastraan dan lain-lain.
Pengangkutan naskah-naskah ke negara kolonial, sebagaimana lazim terjadi di negeri yang tekena dampak kolonisasi, telah menciptakan jurang pelupaan yang amat dalam bagi generasi berikutnya. Satu-satunya ingatan yang, mungkin, masih bertahan adalah: Madura punya tradisi sastra, tapi hanya mengalir dari lisan ke lisan.
Lok-alok sendiri merupakan ekspresi sastra lisan. Pementasannya yang beriringan dengan Karapan Sapi sudah cukup syarat bagi kita untuk mengatakan secara bulat bahwa living literature—kalau boleh saya menyebutnya—benar-benar terjadi, menubuh, mengalir dan mengakar kuat di sekujur narasi kebudayaan Madura.
Adalah sebuah ironi ketika sastra yang living ratusan tahun kemudian tergelincir di tebing waktu. Terakhir saya nonton Karapan Sapi, saya melihat sesuatu yang baru: sebelum karapan dimulai, terdapat penari perempuan dengan pakaian yang, saya kira, tidak mencerminkan ornamen kebudayaan.
Tariannya bukan tari tradisional. Pakaiannya bukan pula pakaian adat. Yang saya saksikan adalah tarian dalam balutan pakaian agak ketat. Mungkin sebagai “penyedap” mata agar manarik banyak massa. Dalam suasana demikian, terbayang tulisan D. Zawawi Imron, namun dengan judul sedikit termodifikasi—“Sastra Madura: Yang Hilang Telah Berganti” [*]
Oleh: Naufil Istikhari Kr
Esais, penyuka budaya Madura