
Penulis : Suhairi Rachmad
Penerbit : Penerbitan Pelangi Indonesia
Cetakan : I, 2015
Tebal : viii + 248 halaman
ISBN : 978-602-1627-46-4
Problematika hidup terkadang susah untuk disuarakan melalui lisan. Terkadang lebih santun jika disampaikan melalui tulisan. Salah satu contohnya adalah rekam jejak kondisi pascapemilu yang terjadi di Madura. Rekam jejak tersebut dituangkan ke dalam novel Kelopak Cinta Kelabu karya Suhairi Rachmad. Penulis mengaku gelisah atas situasi politik di Madura pascapemilu.
Kegelisahan tersebut melahirkan novel ini dan patut dijadikan bahan renungan. Apalagi, karya sastra bukan sekadar lahir atas nama karya secara ansich. Karya sastra merupakan rekam jejak penulisnya terhadap budaya masyarakat yang ada di sekitarnya. Bahkan, karya sastra bukan sekadar karya ilutif seorang penulis, tetapi memiliki nilai pendidikan yang perlu direnungkan. Konsep sastra inilah yang kemudian yang disebut didactic heresy yang dilontarkan Poe: sastra berfungsi menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu.
Novel ini menceritakan hiruk-pikuk dunia pesantren sekaligus kondisi politik yang ada di Madura. Perbedaan pilihan dalam pemilu terkadang menyebabkan terputusnya hubungan persahabatan dan kekerabatan antar masyarakat.
Diceritakan, Kiai Mannan mengusung calon Lora Rosyid, putra Kiai Mannan, sedangkan Kiai Manaf mengusung Surahman Hadi yang merupakan alumnus Pesantren Al-Iftitah. Akibat perbedaan pilihan ini, Pesantren Al-Iftitah selalu didatangi para pengacau. Namun, setelah ada sepucuk surat atas nama Kiai Mannan yang menyatakan pertunangan Lora Hamim dengan Ning Fatimah diterima, para pengacau tak lagi mendatangi Pesantren Al-Iftitah.
Para santri merasa gembira atas rencana pernikahan Lora Hamim dengan Ning Fatimah. Pasti tak akan terdengar lagi bentrok antar warga yang mengaku dari kubu Pesantren Al-Iftitah dengan Pesanren Iqro’ (hal. 76). Sayang, pengirim surat tersebut akhirnya terbongkar. Surat pertunangan itu ternyata bukan dikirim oleh Kiai Mannan, melainkan dikirim oleh Ning Fatimah. Ning Fatimah melakukan hal itu karena merasa malu kepada keluarga Kiai Manaf. Sebab, Kiai Mannan tak kunjung memberi keputusan yang pasti terkait rencana pertunangan Lora Hamim dengan Ning Fatimah. Selain itu, hal itu dilakukan untuk menekan ancaman dari para pengacau yang menyebabkan jiwa santri terancam.
Ternyata, apa yang dilakukan Ning Fatimah menimbulkan permasalahan yang lebih parah. Kiai Mannan menyatakan bahwa tak ada pertunangan antara Fatimah dengan Hamim, apalagi pernikahan. Tidak kuat menahan malu, Ning Fatimah mencoba bunuh diri. Untung saja, beberapa orang santri mengetahui aksi tersebut. Nyawa Ning Fatimah tertolong setelah dilarikan ke rumah sakit.
Di tengah situasi pesantren yang runyam, dari balik tirai ranjangnya, Kiai Mannan memutuskan akan mentunangkan Ning Fatimah dengan Ustadz Sholeh, ketua pengurus pesantren. Inilah yang menyebabkan Ning Fatimah tidak faham atas keinginan abahnya. Apalagi keadaan pesantren belum kondusif.
Tidak seberapa lama, tim keamanan pesantren berhasil membekuk dalang pengacau yang selalu mendatangi pesantren. Namun, salah satu di antara komplotan pengacau berhasil menyusup ke area pesantren dan menemui Kiai Mannan yang berada di balik tirai ranjang. Para tamu terkejut ketika seseorang tiba-tiba menarik tangan Kiai Mannan. Lebih terkejut lagi, lelaki yang terkapar di lantai rumah itu bukan Kiai Mannan, melainkan Mat Hasin, seorang lelaki yang pernah menjadi pembantu pesantren ini. Seketika itu juga, massa yang berada di tempat itu menghakimi Mat Hasin hingga babak belur. Ternyata, Kiai Mannan dibunuh dan dikubur di dalam kamarnya beberapa tahun yang silam.
Novel ini menyuguhkan cerita tentang cinta, politik, dan pesantren dengan memukau. Latar belakang pesantren tentu menyingkap sisi lain tentang dunia kiai dan santri, yang tak hanya budi pekerti, tetapi juga fiksi. Dengan membaca novel ini, pembaca diajak lebih arif menghadapi permasalahan hidup, utamanya terkait perbedaan pilihan dalam pemilu. [*]
Oleh: Ainiyah Mundzir
Mahasiswi Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura