Pembakaran rumah ibadah, bukan hal terpuji dalam konteks keagamaan. Radikalisasi (ber)agama juga tidak sepenuhnya tepat. Lahirnya agama sedari awal untuk menerangi dan mencerahkan kehidupan manusia, bukan menakuti dan meniadakan eksistensinya.
Akan tetapi, belakangan agama sering dimunculkan segilintir golongan dengan keras, menakutkan, dan mudah mengklaim paling berhak atas surga Tuhan. Tak berlebihan jika penyair terkemuka, Acep Zamzam Noor, menegaskan dalam konteks radikalisasi agama, jenggot saja di negeri ini telah dijadikan identitas beragama.
Realitas ambigu atau paradoks. Tapi terus didoktrinkan oleh sebagian kalangan beragama dan dianggap amat sejalan dengan keagamaan Nabi Muhammad Saw. Padahal menonjolkan radikalitas agama dalam interaksi sosial kemanusiaan dan keumatan, pada titik tertentu hanya akan melahirkan friksi dan konflik imani yang tak berujung. Fenomena yang kerap kali bergolak antara Palestina-Israel, Lebanon, dan lain-lain, diluar pergulatan ekonomi juga ada kaitannya dengan paradigma dan perilaku radikal beragama.
Demikian antara kelompok garis keras di Indonesia versus barisan moderat. Saling sembur propaganda. Barisan moderat membumikan semangat luhur pendiri bangsa. Memelihara tradisi berbasis kearifan Nusantara, menjunjung harkat budaya bangsa, menata konstruksi imani penuh toleransi. Adapun garis keras, (seakan) hendak menguburkan kearifan Nusantara, lalu menggantinya dengan arakan agama yang dicampur paradigma dan budaya luar tanpa memilah mana yang pas, cocok, sealur dengan kearifan Nusantara dan yang tidak sama sekali. Dari sini salah satu problematika keagamaan meletup.
Meniru Nabi
Sumber dan sumbu agama (Islam) adalah Nabi Muhammad Saw. Pemilik sunnah, yang harus diikuti oleh seluruh komponen beragama, khususnya mereka yang menyatakan diri sebagai muslim. Dan meniru Nabi bukan hal yang mudah. Disamping sebagai manusia biasa, kepada beliau wahyu (Alquran) diturunkan dan diamanahkan. Tak berlebihan kalau sejarahwan dan sebagian ahli agama menyatakan bahwa isi Alquran sejatinya adalah kepribadian dan perilaku luhur Nabi Muhammad Saw.
Karen Armstrong (2001) mensinyalir bahwa membicarakan dan mencermati perilaku Nabi Muhammad sudah pasti akan memberikan pengalaman religius yang mengagumkan. Beliau adalah simbol dialogis esensial antara realitas humanistik dengan sakralitas kenabian melalui laku sosial keagamaannya. Fakta historis yang jarang terbantahkan. Potensi dan kualitas dua dimensi ini mengantarkan beliau kelak menjadi poros sejarah keagamaan yang mahadahsyat. Bukan semata menginspirasi pelbagai pemikiran dan ideologi keagamaan, akan tetapi menyinari dunia dengan keluhuran akhlak berbasis imani.
Armstrong juga menegaskan, dan ini yang penting diinternalisasi oleh kita. Bahwa Nabi Muhammad menciptakan agamanya sebagai penguasa dunia bukan karena propaganda politik, kekuatan persenjataan, atau kuantitas pasukan (kekerasan). Lebih luhur dari itu, beliau menciptakan agama dengan menyalakan tradisi alamiah, yakni kerja-kerja penguatan kearifan budaya yang dikemas dengan kesadaran imani dan pencerahan religius. Berbagai terobosan kultural religius yang ditransformasikannya tidak dikaburkan oleh perilaku-perilaku yang kontrahumanistik.
Meniru Nabi berarti mengedepankan hikmah, bukan ambisi dan pawai kekerasan (di)atasnama(kan) agama setiap waktu. Kalau pun Nabi pernah berperang dalam mengembangkan agama (Islam), itu adalah proses. Bukan tujuan utama. Bukan karakterisasi integral yang terinstitusionalisasi (didoktrinkan). Tepatnya adalah konsekuensi logis dari dan untuk pertahanan demi tujuan luhur berikutnya dalam rangka pertumbuhan agama (Islam). Maka tak ada sejarah yang menyebutkan bahwa beliau melakukan kekerasan beragama secara berkepanjangan.
Meminjam uraian Sir Sayyid Ahmad Khan, Annemarie Schimmel (2001), menegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus bukan semata menyampaikan satu jalan keselamatan perseorangan, individualistik, atau kekeluargaan. Akan tetapi, tegas Schimmel, dengan integralitas imani dan religiusitasnya, ia diutus juga untuk mendirikan suatu umat yang bajik. Umat yang secara sosial produktif tapi dalam konteks spiritual juga empatik. Umat yang gemar mendahulukan senyum dari pada pentungan. Umat yang tidak berorientasi pada kuasa (negara), melainkan terus menjalin relasi dan interaksi esensial dengan manusia dan bangsa-bangsa pada umumnya.
Koreksi Diri
Dalam rangka menyehatkan budaya keagamaan dan religiusitas kita di negeri ini, ada baiknya semua pihak melakukan re-vaksinasi dalam beragama. Kita perlu memberikan vaksin ulang secara paradigmatik terhadap pola pikir, perilaku, dan moralitas keberagamaan. Agar disorientasi dan disfungsionalisasi keagamaan tak semakin parah, kemudian pola relasi dan interaksi sosial keagamaan dapat melahirkan keteduhan, kehangatan, keharmonisan, dan pencerahan spiritual. Seperti kata Schimmel, Nabi Muhammad sendiri selama hidupnya memiliki dua individuasi, yakni manusiawi, jasadi, dan malaikati, spiritual.
Re-vaksinasi beragama diperlukan bukan sekadar menambah vitamin baru dalam konteks sosio-religiusitas. Lebih dari itu, supaya pemeluk agama dapat menempatkan potensi imaninya semaksimal mungkin dari dan untuk pencerahan serta produktifitas sosial kebangsaan, bukan kekisruhan dan disorientasi moralitas religius. Sebagaimana telah ditransformasikan Nabi Muhammad Saw., selaku manusia adalah senantiasa menciptakan karya (amal) kebajikan. Namun sebagai Nabi, tiada henti menumbuhkan dan menjaga keseimbangan semesta demi aktualisasi amanah di hadapan Allah SWT.
Dengan re-vaksinasi beragama, relasi dan interaksi religiusitas berbangsa dan bernegara diharapkan berjalan lebih simpatik dan empatik. Tradisi Nusantara diiternalisasi dengan baik dan transformatif. Tak mudah mengafirkan dan membid’ahkan perilaku agama yang berbasis (kearifan) budaya lokal. Juga tidak gampang menonjolkan kekerasan menyikapi fenomena sosial keberagamaan. Sebab agama adalah nasihat. Agama adalah cahaya (al Nur) bagi umat manusia tanpa terkecuali. Agama merupakan jaminan keselamatan diri manusia di dunia dan di akhirat. [*]
Oleh: Masmuni Mahatma
Dosen STAIN SAS dan Ketua PW GP ANSOR Kep. Bangka Belitung