Oleh : MH. Said Abdullah
Mulai pekan ini hingga sekitar sebulan di Qatar, akan berlangsung even olahraga terbesar Piala Dunia. Seluruh mata masyarakat dunia akan terfocus pada even empat tahunan itu. Timur Tengah yang biasanya menjadi sorotan karena berbagai konflik, kali ini agak berbeda menjadi episentrum kegembiraan dan moment-moment kemanusiaan indah. Selalu even Piala Dunia memunculkan berbagai peristiwa kemanusiaan penuh pesona.
Sepakbola, sebagai olahraga paling populer dan merakyat hingga di beberapa negara seperti di Brazil, Argentina seakan seperti agama, memang mampu menghipnotis bahkan tidak hanya para penggemarnya. Mereka yang kadang tidak mengerti dan bukan penggemarpun, ketika berlangsung even terbesar Piala Dunia, terseret euforia sepakbola. Piala Dunia sepanjang sejarah memang selalu melahirkan berbagai kejutan, yang menggoreskan kenangan luar biasa, bagi pemain maupun penontonnya.
Tidak ada di dunia ini negara yang dapat lepas dari magnit Piala Dunia. Seluruh stasiun televisi di seluruh dunia, memfocuskan tayangan pada even Piala Dunia. Berbagai acara televisi ‘terpaksa’ digeser untuk memberikan porsi besar tayangan Piala Dunia.
Negeri ini, yang belum lama mengalami tragedi Kenjuruhan, sebuah kerusuhan terbesar kedua di dunia dari jumlah korban meninggal, tak terkecuali menjadi bagian even olahraga terbesar itu. Demam sepakbola melanda seluruh tanah air. Perbincangan politik soal Pilpres sementara selama sebulan, agak dipinggirkan. Semua mata dan perbincangan sementara focus tentang sepakbola. Gambaran jelas dan tegas betapa dasyat magnit sepakbola.
Pertanyaan klasik, di tengah pelaksanaan Piala Dunia, selalu muncul menggelisahkan terutama para pencandu bola. Kapan sepakbola Indonesia dapat berkiprah di Piala Dunia? Mengapa, negeri berpenduduk sekitar 270 juta, tidak mampu berpartisipasi dalam even empat tahunan itu?
Sebuah kegelisahan rasional, yang sampai sekarang belum terjawab hingga menjadi olok-olok para komedian yang menyebut sepakbola Indonesia akan tampil di Piala Dunia, jika komodo, sudah dapat mendarat di bulan. Komedian Cak Lontongpun, dalam berbagai kesempatan menyampaikan satir tentang kondisi sepakbola Indonesia, yang tak terkalahkan oleh Tim Brazil, Jerman, Itali dan Prancis. Bukan karena sepakbola Indonesia hebat tapi karena memang tak pernah bertanding dengan para juara Piala Dunia itu. Sebuah ekspresi riil betapa sesungguhnya demikian berharap sepakbola Indonesia dapat menjadi salah satu dari 32 Tim yang bertanding di Piala Dunia.
Para penggemar sepakbola pun melontarkan uneg-uneg, mengapa dari penduduk berjumlah sekitar 270 juta tak dapat ditemukan 11 orang, yang mampu mewakili Indonesia pada Piala Dunia. Bandingkan dengan beberapa negara peserta Piala Dunia 2022 seperti Tunisia, yang berpenduduk hanya sekitar 11 juta, tak sampai 5 persen jumlah penduduk Indonesia. Apalagi jika dibanding beberapa negara Eropa seperti Denmark yang berpenduduk hanya sekitar 6 juta. Atau, Uruguay yang tak sampai 4 juta. Masih banyak lagi negara-negara dengan jumlah penduduk jauh lebih kecil serta masih jauh lebih terbelakang dibanding Indonesia, yang sepakbolahnya maju pesat.
Jelas sangat membingungkan dan menimbulkan tanda tanya besar bila melihat dari paparan kondisi demografi serta tingkat kemajuan ekonomi. Jangan lupa, beberapa catatan FIFA, organisasi terbesar sepakbola dunia, memberikan penilian positif tentang kemampuan teknis para pemain Indonesia. Bukti kongkritpun terpapar ketika beberapa pemain Indonesia belakangan ini mulai berkiprah di liga-liga terkemuka dunia.
Berbicara tentang kecintaan pendukung, makin terlihat membingungkan. Kecintaan dan dukungan penonton Indonesia, tak berbeda dengan negara-negara gila bola seperti Brazil, Argentina untuk kawasan Amerika Latin dan Inggris, Itali, yang penggemarnya sangat fanatik. Untuk membantu kemajuan sepakbola, seandainya pendukung Indonesia diminta bantuan dana misalnya, diyakini akan berbondong-bondong akan mengulurkan bantuan.
Berbagai paparan sederhana selintas itu, makin jelas bahwa ada masalah besar dalam pengelolaan sepakbola negeri ini. Kesalahan itu sangat kompleks jika mencermati potensi luar biasa dunia sepakbola. Segalanya Indonesia punya, tapi super ironis, ketersediaan apapun, ternyata tidak mampu menghasilkan sebuah Tim hebat.
Profesionalisme pengelolaan menjadi faktor utama. Para pengelola sepakbola jauh dari profesional. Ketika di negara maju pengelolaan sepakbola telah menjadi industri, di negeri ini masih sambil lalu, menjadi pekerjaan sampingan para pengurus.
Bukan hal aneh jika, pengelolaan sambil lalu akhirnya mengundang berbagai ‘virus’ perusak seperti mafia judi, permainan skor, suap menyuap, yang diduga melibatkan para pengelola bola dari tingkatan tertinggi sampai kepada para wasit dan pemain.
Sudah menjadi rahasia umum pengaturan skor yang diduga melibatkan pengelola sepakbola kerap terjadi sehingga akhirnya sepakbola hanya sekedar alat kepentingan dan bukan olahraga murni, yang seharusnya dikelola profesional.
Sekedar contoh sederhana betapa profesionalnya pengelolaan sepakbola di negara Eropa. Seorang mantan pemain Arsenal, yang tertangkap kamera merokok Jack Wilshere, langsung dikenai sanksi berat. Pemain sekaliber Cristian Ronaldo, yang hanya terlambat berlatih beberapa menit, tak lepas dari denda ratusan juta rupiah. Jangan coba-coba menyentuh wasit ketika seorang pemain memprotes saat pertandingan berlangsung. Bisa terkena sanksi kartu merah. Seorang pemain, jangankan memukul, terlihat VAR ‘akan’ memukulpun walau tidak terkena dijamin akan terkena minimal kartu kuning. Hukum pertandingan benar-benar ditegakkan kepada siapapun yang menjadi bagian sepakbola. Termasuk para penonton yang membuat rusuh, dapat dikenakan sanksi tidak boleh datang ke stadion seumur hidup.
Dengan segala kesemrawutan pengelolaan serta faktor-faktor kepentingan yang mempengaruhi dan merusak sepakbola, sehebat apapun potensi sepakbola Indonesia, jangan mimpi dapat berprestasi di kancah dunia. Yang terjadi bahkan bisa sebaliknya menimbulkan malapetaka seperti tragedi mengerikan Kanjuruhan. Perlu revolusi total dalam pengelolaan, jika ingin mewujudkan sepakbola Indonesia berprestasi dunia.
Bisakah kita menjadikan Piala Dunia di Qatar sebagai inspirasi untuk memulai dari titik nol profesionalisme sepakbola nasional? Wallahu’alam.