Oleh: Abrari Alzael
Budayawan tinggal di Madura
Ada kejenuhan manusia modern terhadap logika dan sillogisme. Hanya sedikit pihak yang berusaha hidup dengan cara retoris dan mendiskusikan tentang tuhan, sekedar menguji akalnya sendiri tentang kebenaran yang diyakini. Semakin sering tuhan didialogkan, semakin nyata bahwa ia ada. Bahwa adanya lalu dianggap tidak ada dalam religiusitas hari-hari hamba, di situlah paradoks.
Manakala seseorang tertelungkup karena dizalimi atau disesatkan nkebenarannya dalam hukum, tuhan, dalam banyak lakon, adalah sebuah nama yang disebut-sebut dan diminta hadir untuk ikut membantu secara teknis. Orang, dengan begitu mudah mengatakan apa saja, kepada siapa saja, tentang apa saja, manakala berada dalam posisi yang sehat secara fisik tetapi sakit secara psikologis.
Tetapi ketika sakit mendera secara fisik, tuhan kembali dihadirkan dengan menyadarinya bahwa saat sehat tuhan tidak dilibatkan. Memang agak susah menyadari diri dengan cara bersyukur terhadap yang diterimanya, segetir apapun. Manusia kontemporer memiliki kecendrungan untuk memuaskan diri, yang tentu saja dengan dirinya sendiri. Bahkan dalam situasi tertentu, betapa orang merasa bangga dengan mengatakannya kepada banyak pihak karena kesuksesannya menipu atau menjerembabkan orang lain.
Dalam Sejarah Kegilaan (Michel Foucault, 1960), didedahkan penekanan rasa hormat terhadap apapun yang pantas menerimanya serupa takzim siswa kepada guru. Filsafat bukan sesuatu yang tidak penting dalam realitas hidup, tetapi kenyataan seringkali butuh penyelesaian secara fisik yang menjauh dari metafisik. Celana yang robek karena kuatnya getaran yang menggoresnya dari luar atau dalam, memerlukan eksekusi tanpa terlebih dahulu berfilsafat. Robek itu menjadi sesuatu yang ada sebagaimana tidak robek sebagai sesuatu yang juga ada.
Ada, tentu saja muncul melalui gerak hermeneutis menuju makna primordial yang ditafsir dalam ruang individu untuk digeneralisasi. Kemudian, term ada ini menjadikan seluruh hubungan ontologis dalam filsafat terseok dan kemudian terbuka untuk didiskusikan. Filsafat yang menjadi induk dari segala ilmu lalu bergerak dan dilacurkan oleh penunggang filsafat untuk mewujudkan keinginannya yang ambigu-primordial. Maka lahirlah eksotisme-metafisik serupa onani yang menafikan individu di luar dirinya.
Terpuruknya situasi antara lain karena terlalu banyak orang yang melakukan masturbasi dan berdialektika di situ. Padahal, hidup sendiri sebenarnya sederhana, soal melakukan apapun yang menjadi perkerjaannya tanpa melupakan asal-muasal. Kontekstualisasi realitas hari ini, melahirkan orang-orang yang lebih suka bercermin pada kaca yang pecah. Mereka pergi dari realitas dan berlindung pada logika dan menuhankannya pada saat tertentu. Ia lupa bahwa akal bukan segala-galanya dalam hidup.
Warga republiken memerlukan etika dan dialektika dalam hidup bernegara dan beragama. Seyakin-yakinnya siapapun dan mengaku benar atas apapun, ia tidak akan menabrak logikanya sendiri yang mengerdilkan ide-ide lain yang tidak sama atau berbeda sama sekali. Tetapi, ada skala kepatutan yang menjadi niscaya untuk dihadirkan daripada beretorika tanpa prilaku. Indonesia modern adalah bangsa yang menyebalkan karena selalu mengatakan biru pada warna hijau yang dilihatnya dan menyebabkan suasana bangsa aman terkendala. [*]